Kisah Setangkai Daun

Kamis, 22 November 2007


Adalah keajaiban daun yang mengendalikan aliran energi dalam kehidupan biosfer di muka bumi ini. Dia yang memberi kesempatan pada banyak jenis makhluk hidup untuk bernapas dan berbiak melanjutkan eksistensi spesiesnya. Kuncinya adalah kalori dalam rantai makanan.

Kalori yang mengalir dari satu mata rantai ke mata rantai yang lain itu awalnya berangkat dari setangkai daun –yang dalam arti luas merujuk pada organ, jaringan, atau individu sel tunggal yang berklorofil. Tak ada substansi lain yang bisa memetik energi surya secara langsung, dan kemudian membawanya ke sistem rantai makanan, kecuali daun.


Di dalam sel-sel daun ada mekanisme yang luar biasa pada saat sinar matahari datang menerpa. Dalam tempo hanya sepersekian juta detik, energi foton matahari tadi berpindah posisi, berubah bentuk, menjadi energi kimia dalam sejumlah molekul katalisator. Dengan sigap mereka membongkar molekul air, menghasilkan oksigen (O2) yang dilepas ke udara dan atom hidrogen bebas yang siap menjalani reaksi lanjutan.

Di saat bersamaan, stomata daun membuka tutup seperti pintu mal, untuk memastikan bahwa karbon dioksida (CO2) dari udara masuk dalam rangkaian reaksi dalam jumlah yang tepat. Dalam sel-sel daun itu pula, katalisator dan hidrogen bebas menggandengnya. Reaksi kimia berlangsung lagi, kali ini tanpa melibatkan energi matahari.

Dalam kecepatan yang juga luar biasa, reaksi kedua ini (disebut fotositesis gelap) menghasilkan senyawa organik tingkat pertama, C-H-O, dengan tiga atau empat karbon, yang menjadi bahan dasar organik yang lebih stabil: gula atau lemak.

Begitulah dedaunan menjalankan tugas sejak fajar menyingsing hingga matahari terbenam. Hasilnya, bahan organik berlimpah, bahkan melampaui kebutuhan rantai makanan itu sendiri. Proses dekomposisi oleh segala macam mikroba tak membuat seluruh limbah bahan organik itu habis. Nyatanya, terbentuklah lapisan organik dalam tanah, muncul lahan gambut, dan deposit organik lainnya. Semuanya masih menyimpan energi kimia yang asal-muasalnya dari cahaya matahari.

***

Planet bumi pun menjalani evolusinya sendiri sejak tercipta oleh ledakan besar, Big Bang, sebagai gumpalan gas, 6 milyar tahun lalu. Bumi mendingin dan memadat. Daun pertama, juga makhluk pertama di bumi ini, lahir dalam bentuk sel-sel tunggal berklorofil, 2,4 juta tahun lalu. Ia berevolusi seiring dengan evolusi geologi bumi itu sendiri. Bahkan, menurut para ilmuwan, 350 juta tahun silam muncul hutan raya generasi pertama di muka bumi ini.

Evolusi bumi berjalan, diwarnai pelbagai peristiwa geologis yang mendeformasi lapisan bumi. Lempeng-lempeng bergeser, naik dan turun. Di banyak tempat, hutan dan belukar terkubur batuan. Selama berjuta tahun di sana, dengan pemanasan sekitar 82 derajat celsius, bahan organik di kedalaman 2.500 meter itu berubah menjadi minyak. Yang terjerat lebih dalam, sampai 5.000 meter, dengan pemanasan sampai 154 derajat celsius, berubah bentuk menjadi gas. Dalam perkembangannya, minyak dan gas bumi itu cenderung mengalir dari tempat semula dan terjebak di dalam patahan-patahan lapisan bumi.

Toh, masih banyak material organik yang terserak begitu saja di dekat permukaan bumi. Mereka juga mengalami proses sendiri, melapuk, memfosil menjadi batu bara.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa para tentara pendudukan Romawi di Inggris telah membakar batu bara pada abad kedua dan ketiga Masehi. Penemuan mesin uap pada awal Revolusi Industri membuat pembakaran batu bara melonjak. Minyak bumi sendiri kali pertama diproduksi sebagai komoditas di Titusville, Pennsylvania, Amerika Serikat, 1959, oleh Edwin L. Drake. Dalam waktu singkat, dia menjadi kalori yang menggerakkan peradaban. Belakangan, gas bumi disedot pula sebagai sumber energi.

***

Hanya kurang dari 150 tahun, menurut Jeremy Leggett, dalam bukunya, Half Gone (2006), 920 milyar barel minyak bumi ludes dipompa dari perut bumi. Ia lebih percaya pada angka 780 milyar barel sebagai angka cadangan yang masih tersisa, ketimbang 1.147 milyar barel deposit seperti yang sering disebut para juragan minyak bumi. Namun, sekiranya angka 780 milyar barel itu benar, itu pun cukup untuk membuat atmosfer bumi bertambah buruk karena penumpukan residu CO2 dari proses pembakarannya. Belum lagi residu dari pembakaran batu bara dan gas.

Padahal, sejak akhir abad ke-19 silam ilmuwan Swedia, Svante Arrhenius, mewanti-wanti dunia industri supaya menahan diri dalam mengonsumsi bahan bakar fosil. Pemakaian yang berlebihan akan membuat CO2 menumpuk di udara dan menyebabkan pemanasan global. Toh, baru 20 tahun terakhir masyarakat dunia serius mencari jalan untuk mereduksi emisinya karbonnya. Bahkan baru 10 tahun belakangan langkah-langkah nyata mitigasi (penanggulangan) dilakukan, dengan atau tanpa kesertaan Amerika Serikat, negara yang paling rakus mengonsumsi bahan bakar fosil tapi bersikeras menolak mengurangi emisinya.

Pelbagai skema pun dijalankan. Ada kecenderungan, di negara-negara maju, pemakaian bahan bakar fosil kini semakin efisien. Tapi itu semua tidak cukup untuk menahan kenaikan konsentrasi CO2 dan gas-gas lain yang menimbulkan efek pemanasan global. Maka, salah satu agenda Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim Ke-13 di Bali, 3-14 Desember ini, adalah menelurkan protokol baru untuk memanfaatkan hutan-hutan tropis sebagai gudang penyimpanan CO2.

Dalam skema sebelumnya, hal-ihwal pengaturan pemanfaatan hutan tadi dianggap belum cukup memadai. Padahal, dengan keajaiban di dedaunannya, kawasan hutan, seperti halnya lautan, diyakini akan banyak memberi kontribusi dalam mitigasi melawan pemanasan global.

Hutan pun kembali menjadi sorotan, juga harapan. Bisakah hutan menyelamatkan dunia dari gejala perubahan iklim? Mampukah dedaunan hutan itu menyerap habis gas CO2 yang disemburkan jutaan cerobong pabrik, ratusan juta knalpot mobil dan sepeda motor, ribuan pembangkit listrik (yang memakai bahan bakar minyak, gas, atau batu bara)? Belum lagi ribuan sumber emisi karbon lainnya.

Di atas kertas, jelas hutan akan kewalahan menghadapi tugas berat itu. Menanti keajaiban baru bahwa hutan akan beradaptasi dengan lingkungan baru yang lebih sarat CO2, dengan menambah kemampuannya menyerap gas-gas tersebut, tak kunjung muncul. Penelitian Chantal D. Reid, ahli fisiologi tumbuhan di Duke University, Amerika Serikat, selama empat tahun atas 15 jenis tumbuhan menunjukkan bahwa penambahan kadar CO2 di udara mempengaruhi frekuensi stomata membuka dan menutup. Daun tak bisa serta-merta menelan CO2 lebih besar hanya karena gas tersebut tersedia lebih banyak.

Keajaiban daun barangkali hanya sebatas menyiapkan kalori bagi kehidupan bumi ini. Proses evolusi daun tidak sempat melewati tahap perubahan drastis atas komposisi atmosfer hanya dalam tempo 150 tahun. Emisi berlebihan bukanlah tanggung jawab dedaunan hutan atau plankton di lautan. Bagaimana pula kita bisa menyerahkan urusan mitigasi pada hutan dan lautan bila di antara kita sendiri ada yang tak sudi mereduksi pencemarannya? Mitigasi hendaknya berangkat dari kesediaan umat manusia sendiri untuk mengendalikan diri.

Putut Trihusodo
[Mukadimah, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 22 November 2007]


[+/-] Baca Selengkapnya...

Menyongsong Apocalypse Ketiga

Selasa, 23 Januari 2007

Oleh Putut Trihusodo
Cadangan minyak akan lebih cepat habis dari yang diperkirakan. Peradaban manusia modern telah menimbulkan ancaman serius. Suhu udara global naik 5 derajat celsius di akhir abad ini. Tapi akibatnya mengerikan.

HALF GONE: OIL, GAS, HOT AIR AND THE GLOBAL ENERGY CRISIS
Penulis: Jeremy Leggett
Penerbit: Portobello Books Ltd, London, 2006 (322 halaman)

Minyak itu segala-galanya. Sembilan puluh persen transportasi, baik di darat, udara, maupun air, bertumpu pada bahan bakar minyak. Sembilan puluh lima persen barang di toko melibatkan minyak dalam proses produksinya. Bahkan 95% bahan makanan memerlukan minyak untuk pengadaannya. Sebagai contoh, di Amerika, peternak sapi memerlukan enam barel minyak untuk memelihara sampai membawa dagingnya ke pasar.

Keruan saja, konsumsi minyak terus saja membubung. Saat ini, konsumsi minyak dunia mencapai 80 juta barel per hari atau 29 milyar barel per tahun. Pada 2025, menurut prediksi Pemerintah Amerika Serikat, konsumsi minyak akan melonjak ke 120 juta barel per hari atau 43 milyar barel per tahun. Versi lainnya, International Energy Agency, 121 juta barel per hari pada 2030. Konsumsi Amerika Serikat seperempatnya.

Upaya mengerem laju konsumsi itu selalu sulit. Kalau saja, misalnya, industri mobil Amerika sudi meningkatkan efisiensi mobil sport dan truk-truk mereka dengan 2,7 mil per galon, negeri itu bisa mengurangi seperempat konsumsinya. Bayangkan, komsumsi minyak di Amerika sehari mencapai 20 juta barel, dan 5 juta di antaranya diimpor dari Timur Tengah.

Boro-boro mau berhemat. Industri otomotif malah memanjakan konsumen dengan mobil-mobil keren tapi boros, terutama kategori sports utility vehicles (SUVs). Pada 1975, populasi SUVs ini hanya 2%. Kini melonjak jadi 24%. Tentu saja, efisiensi bahan bakar rata-rata mobil di sana turun dari 26,2 mil per galon pada 1987 menjadi 24,4 mil per galon pada 2001. Minyak akan habis lebih cepat.

Titik Puncak

Salah satu bagian menarik dalam buku Jeremy Leggett itu ialah bagaimana dia mengulas tentang titik puncak dalam kurva produksi minyak dunia (topping point) sepanjang sejarahnya. Menurut Leggett, sejarah minyak bumi, sejak ditemukan di Amerika Serikat pada 1859, tidak akan lebih panjang. Setelah titik puncak terlewati, eksploitasi minyak (juga gas) akan menyusut untuk kemudian punah sama sekali.

Di situlah Leggett membenturkan pendapat dua kubu. Yang satu optimistis, sumber-sumber minyak baru akan terus ditemukan hingga tersedia dalam waktu lebih panjang. Kubu ini diwakili kalangan industri minyak, bankir, sekuritas, lembaga-lembaga pemerintah, analis ekonomi, dan mereka yang berkepentingan dengan pihak-pihak tadi.

Mereka dianggap sebagai kelompok yang percaya bahwa cadangan potensial minyak dunia masih 2 trilyun barel. Kalangan ini percaya, produksi minyak dunia masih bisa digenjot naik melampaui angka 40 milyar barel per tahun pada 2020-an. Leggett menyebut mereka the late toppers.

Sebaliknya, kubu kedua yakin, cadangan minyak dunia akan segera habis... bis. Mereka disebut terdiri dari para "pembangkang", yakni para pakar independen, wartawan, dan pencinta lingkungan. Kelompok kedua yang disebut early toppers ini berpegang pada kenyataan bahwa deposit minyak dunia terbukti tinggal tersisa 780 milyar barel. Angka ini di bawah statistik bahwa minyak yang telah disedot dari perut bumi sejak 1859 mencapai 920 milyar barel.

Kelompok kedua, the early toppers, tak menafikan bahwa masih banyak minyak yang bersembunyi dalam perut bumi yang belum terendus oleh pihak industri. Tapi tidak sebesar yang diduga kalangan late toppers. Maka, mereka menduga, produksi minyak dan gas pada 2015 akan mencapai titik kurva tertinggi. Produksi akan segera menurun tajam pada tahun-tahun berikutnya.

Salah satu hal menarik yang diungkapkan Leggett ialah kenyataan betapa kelompok late toppers sering semau-maunya merilis angka deposit minyak. Ia mengutip sinyalemen keluhan Sir Phillip Watts, chairman raksasa minyak Shell. Menurut dia, seperti dikutip Leggett, estimasi Shell 20% lebih besar dari angka semestinya.

Jeremy Leggett juga menulis betapa janggalnya angka global oil's reserves versi BP (Beyond Petroleum), raksasa minyak yang lainnya. Dalam versi ini, deposit minyak yang telah terklarifikasi secara teknis adalah 1,147 trilyun barel. Leggett menyebut angka ini hanya dicomot dari Sekretariat OPEC, kantor industri minyak, dan lembaga pemerintah dari pelbagai negara. Celakanya, data itu menjadi acuan banyak orang, mulai mahasiswa hingga pelaku ekonomi, meski akurasinya lemah.

Data itu disebut meragukan, karena BP tak secara cepat memperbaruinya. Sementara itu, beberapa negara produsen minyak sudah meng-up-date-nya sesuai hasil observasi terbaru. Iran, misalnya, dalam data BP disebut memiliki potensi 90 milyar barel. Namun Samsan Bakhtiari dari National Iranian Oil Company belakangan mengakui bahwa estimasi 37 milyar barel adalah angka yang realistis.

Saksi Ahli

Tak hanya menggugat data BP, penulis juga mencoba menggugah para pembaca tentang krisis bahan bakar fosil itu. Leggett, pakar sejarah geologi yang meraih PhD dari Universitas Oxford, Inggris, melakukan pendekatan lain. Ia menghadirkan sosok-sosok ilmuwan geologi yang juga praktisi perminyakan, yang menjadi "saksi ahli" untuk mendukung tesisnya tentang sumber daya fosil yang disebut telah tandas separuh itu.

Di antaranya adalah Colin Cambell, geolog, peraih PhD dari Oxford pula, yang selama lebih dari 20 tahun menggeluti eksplorasi minyak melalui perusahaan tempat ia bekerja: Texaco, BP, kemudian Amoco. Cambell, yang kini menjadi konsultan dan memiliki database dari 18.000 unit ladang minyak, memberi kesaksian bahwa klaim penemuan ladang baru itu tidak sebesar yang diperkirakan. Bahkan 80% produksi minyak dunia saat ini berasal dari ladang minyak yang ditemukan sebelum 1973.

Selain Cambell, Leggett juga menghadirkan pakar lain yang punya reputasi tinggi, Chris Skrebowski dan Matthew Simmons. Mereka menolak hipotesis tentang teori cadangan minyak yang melonjak.

Efek Rumah Kaca

Satu setengah abad peradaban manusia mengonsumsi minyak bumi telah melahirkan kesadaran mengenai pemanasan global. Pembakaran minyak, gas, dan batu bara membuat atmosfer bumi makin dijejali gas CO2, komponen utama dalam fenomena gas rumah kaca. Karbon dioksida itulah yang membuat sebagian energi panas matahari yang menerpa bumi terjebak di atmosfer. Suhu udara pun merambat naik.

Sampai awal abad ke-21 ini, kenaikan temperatur belum terasa menyengat. Tapi suhu udara akan naik seiring lonjakan konsentrasi CO2-nya. Celakanya, selama beberapa dekade terakhir, kenaikan kadar gas asam arang itu mengikuti kurva eksponensial yang menjulang tinggi dalam waktu yang singkat.

Sebagai pakar sejarah geologi, Jeremy Leggett bertutur tentang 400.000 tahun sebelumnya, ketika kadar CO2 praktis stabil pada kisaran 200-300 ppm. Namun, akibat pemborosan bahan bakar fosil itu, kini konsentrasi CO2 melompat di angka 380 ppm. Ada kenaikan suhu rata-rata dunia, kecil saja, tak sampai 1 derajat celsius.

Namun tren bahaya ini terus berlanjut. Leggett mengingatkan soal ambang batas yang tipis, yakni 2 derajat celsius. Lebih dari itu, pelbagai bencana bisa dipastikan akan melanda bumi, dan itu tak akan lama lagi, yakni tahun 2050-an. Bahkan, di akhir abad ke-21 ini, suhu rata-rata dunia akan meningkat sampai 5 derajat celsius.

Jangan tanya soal akibat sosial atau ekonominya. Secara fisik, bumi akan menderita serius. Muka air laut naik, ketersediaan air bersih terguncang, paceklik bahan pangan, keragaman hayati merosot tajam, banjir, badai, dan seterusnya. Kehancuran tak akan bisa dielakkan.

Apocalypse

Kiamatkah? Apa pun namanya. Namun, sebagai ahli sejarah geologi, Jeremy Leggett mengisahkan di bagian pertama bukunya yang ditulis secara menarik, dalam, dengan bahasa tutur yang mengalir --dengan tajuk ''The Story of the Blue Pearl''-- bahwa bumi telah dua kali mengalami kehancuran dahsyat (apocalypse).

Yang pertama terjadi sekitar 350 juta tahun silam. Bumi tiba-tiba kerkabut tebal. Udara tak lagi bisa dipakai untuk bernapas. Laut kehilangan oksigen. Sekitar 90% spesies makhluk hidup yang ada di dunia musnah. Para ahli geologi belum dapat memastikan penyebabnya. Ada yang mengatakan akibat erupsi gunung-gunung berapi. Ada pula yang bilang karena bumi ditabrak batu meteorit raksasa. Yang kedua, 65 juta tahun silam, terjadi karena ada meteor menabrak bumi. Ekosistem dinosaurus punah.

Apocalypse ketiga? Leggett menyebutnya terjadi karena ulah manusia. The thinkers, demikian ia menyebutnya. Makhluk berakal itu ternyata tak bisa mengendalikan nafsunya. Alam dieksploitasi habis-habisan dan akhirnya kolaps. Akan ada zaman baru lagi? Leggett tak membahasnya.

Januari 2007


[+/-] Baca Selengkapnya...

Panggung Artis

Senin, 25 September 2006

Putut Trihusodo

Jangan mengecam artis. Tak usah pula mempersalahkan media. Keputusan pemilih memang selalu berada di bawah bayang-bayang hegemoni itu. Tindak komunikasi aktif adalah cara menggugah yang rasional karena sangat kalkulatif

Sekalian rakyat itu hanya audiens. Mereka mudah terpukau, tergoda, menyumpah, jengkel, menangis, dan tertawa hanya oleh sebuah realitas yang disaksikannya di televisi. Sekalian rakyat pun berubah jadi kerumunan massa yang mudah terombang-ambing dalam arus informasi yang mengalir deras. Realitas yang mereka pahami juga praktis sebatas realitas media --yang kehadirannya tak bisa lepas dari kepentingan dan keterbatasan. Apa pun, begitulah peradaban kita kini.

Seorang pemikir, ia biasa disebut filsuf, Noam Chomsky, mengingatkan kita betapa gawatnya kecenderungan ini. Sampai-sampai ia mengatakan bahwa politik itu hanya permainan media. Pria Yahudi-Amerika itu menyebut industri pers di negerinya telah tumbuh menjadi kekuasaan besar. Ia seperti punya otoritas untuk memutuskan mana baik, mana buruk, mana benar, dan mana salah.


Chomsky pun berteriak. Ia tidak rela melihat pers di negerinya berkolaborasi dengan pemerintahan Gedung Putih dan perusahaan-perusahaan raksasa, lalu bersekongkol mengamankan kepentingan bersama. Utamanya dalam kebijakan luar negeri. Tema-tema kolaborasi itu bisa tentang demokrasi, advokasi HAM, atau perang melawan narkoba. Prakteknya, semua dilakukan dengan standar ganda.

''Media pers Amerika telah merekayasa kesepakatan publik,'' ujarnya. Kesepakatan yang ada cuma fakta media, bukan realitas publik yang sebenarnya. Kesepakatan semu. Media pers telah menjadi antek Gedung Putih dan sekalian raksasa industri di negeri adikuasa tersebut.

Namun media Amerika pula yang membuat buku Chomsky, Hegemony or Survival: America's Quest for Global Dominance, menjadi best-seller dalam pekan-pekan ini di Amazon.com. Gara-garanya, Presiden Venezuela Hugo Chaves, ketika berpidato di depan Sidang Umum PBB, 20 September lalu, memuji-muji Noam Chomsky dan mengutip isi bukunya. Promosi gratis itu semakin menggema, karena Chaves lagi-lagi menunjukkan sikap penentangannya yang terbuka kepada si "iblis" George W. Bush. Aksi Chaves mendapat liputan luas.

Media pers sebagai institusi tentunya netral. Ia bisa menjadi sarana penyesatan publik, sebagaimana kritikan Chomsky, atau bisa menjadi fasilitas komunikasi yang berguna. Syaratnya adalah komunikasi yang jujur. Apa yang disampaikan media secara jernih dipahami publik. Di sini pers juga bisa menjadi agen demokrasi yang efektif. Ia bisa ikut memandu menuju pencapaian kesepakatan umum.

Kuncinya adalah tindak komunikasi aktif, kata Jurgen Habermas. Pemikir Jerman itu mengingatkan pentingnya media pers menjaga komunikasi dua arah secara seimbang. Komunikasi satu arah bisa membuat salah kaprah. Itulah yang biasa dilakukan koalisi birokrasi dan pemain bisnis di negara berkembang. Maka, kesepakatan yang muncul cenderung semu, distortif, dan cuma melahirkan tatanan rapuh. Maka, bagi Habermas, media perlu ikut memainkan tindak komunikasi aktif agar terjalin kesepahaman yang tanpa rekayasa.

Sebagai bagian dari dunia yang terbuka, pers Indonesia sedikit banyak terbawa oleh tren dunia. Ia juga mulai berkembang menjadi kekuatan besar yang sangat potensial untuk memegang hegemoni. Sejauh ini, sepertinya persekutuan tiga pilar --negara, dunia usaha, dan media pers, seperti gambaran Chomsky di Amerika-- tidak (belum) menjangkiti Indonesia. Pentas media bisa menjadi milik siapa saja.

Maka, dari pentas media, lahir selebriti-selebriti kondang. Mereka umumnya manusia pilihan --setidaknya berparas menawan dan berpostur menarik. Mereka pun menjadi pujaan publik dan, diakui atau tidak, punya pengaruh. Ibarat model busana, mereka juga menjadi acuan, ikut menentukan tren.

Dalam konteks ini, barangkali pendapat Roland Barthes, pemikir Prancis, jadi relevan. Fashion bisa menjadi hegemoni, dan tren busana pun seolah satu hal yang kudu diikuti. Begitu halnya pentas keartisan. Boleh jadi, ia dapat melahirkan hegemoni pula atas audiens. Fenomena ini lalu masuk ke jurusan politik ketika audiens menjelma jadi sekalian rakyat alias massa pemilih.

Di sini hegemoni keartisan akan menjadi modal politik. Bisa besar, bisa kecil. Jangan heran bila hegemoni keartisan kemudian muncul dalam pilkada atau pemilu legislatif. Bahkan ada fenomena terbalik, politikus berlaku bagai artis untuk menguatkan hegemoninya. Lepas dari soal adakah ini sistem rekrutmen yang baik atau tidak, itu barangkali kehendak zaman.

Jangan mengecam artis. Tak usah pula mempersalahkan media. Keputusan pemilih memang selalu berada di bawah bayang-bayang hegemoni itu. Namun, kembali pada pendapat Habermas bahwa tindak komunikasi aktif adalah cara menggugah (juga kampanye) yang rasional karena sangat kalkulatif.

Gatra, 25 September 2006


[+/-] Baca Selengkapnya...

Predator Pemangsa Hutan

Kamis, 31 Agustus 2006

Hukum rimba yang secara harfiah kita anggap kejam dan tak beradab sesungguhnya menyimpan kebijakan tersendiri. Naluri primitif seekor singa memang buas, tapi dia bukan tipe rakus. Singa memangsa pelanduk atau kijang hanya untuk bertahan hidup dan sampai sebatas kenyang.

Di tengah belantara hutan, yang ada hanya hukum rimba. Siapa yang perkasa, dialah sang pemenang. Tidak ada yang bisa melindungi si pelanduk lucu dari keberingasan harimau sang raja rimba. Nun di tengah padang savana di jantung Afrika sana, tak ada yang bisa menolong seekor kijang dari kawanan singa yang selalu lapar.


Hukum rimba, dalam versi cerita tutur tempo dulu, itu ialah tatanan yang tidak adil. Hewan-hewan bertaring yang ganas selalu saja memangsa satwa-satwa lembut yang imut. Maka, hukum rimba harus dijungkirbalikkan. Tidak ada alasan untuk berpihak pada kawanan singa, harimau, cheetah, serigala, hyena, buaya, atau ular sanca.

Cerita tutur itu barangkali dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa sayang pada satwa. Mungkin juga untuk merangsang kepekaan agar membela yang lemah. Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi, dongeng itu tidak utuh memberi gambaran mengenai hutan sebagai ekosistem dengan hukum-hukumnya sendiri.

Singa, harimau, cheetah, hyena, dan karnivora lain adalah kelompok predator, kasta tertinggi dalam urutan rantai makanan. Mangsa mereka adalah kelompok herbivora. Di situlah terjadi aliran energi secara permanen. Rumput dan pepohonan menyintesis karbohidrat (gula) melalui reaksi fotosintesis. Metabolisme lebih jauh pun membuat tumbuhan memproduksi lemak, protein, dan vitamin.

Dengan mengonsumsi hasil tumbuhan (daun, pucuk ranting, atau buah), herbivora mendapatkan energi. Dengan memangsa herbivora, predator punya tenaga. Tapi ada aturan di kalangan mamalia pemangsa. Sesama predator dilarang saling memangsa. Kalaupun terjadi the war of predators, yang kadang menelan korban, itu umumnya hanya menyangkut perebutan teritori. Jadi, di hutan ada pula keteraturan.

Hukum rimba yang secara harfiah kita anggap kejam dan tak beradab sesungguhnya menyimpan kebijakan tersendiri. Naluri primitif seekor singa memang buas, tapi dia bukan tipe rakus. Singa memangsa pelanduk atau kijang hanya untuk bertahan hidup dan sampai sebatas kenyang. Ia bukan membunuh kijang untuk kesenangan, apalagi memperlakukannya sebagai kekayaan. Singa suka makan sampai kenyang, setelah itu tidur atau bermalas-malasan. Tak peduli esok pagi masih ada rezeki atau tidak. Ia bisa tidur 20 jam sehari.

Populasi hewan buas ini juga tak akan meledak. Hukum rimba terus mengontrolnya. Perlu perjuangan berat bagi singa atau harimau untuk menangkap setiap buruannya. Tak pernah tersedia makanan melimpah ruah. Di sana, di tengah rimba, ada harmoni untuk menjaga keseimbangan alam.

Hutan rimba tempat harimau bersarang juga memiliki tingkat keteraturan amat ristmis. Hutan perawan tidak tercipta begitu saja. Ia berkembang melalui tahap-tahap suksesi. Dari lumut berganti rerumputan, lalu semak, kemudian pohon-pohon tinggi hadir dan menjadi tegakan yang dominan. Tumbuhan rambat dan semak, yang telah terseleksi dari jenis yang tak memerlukan cahaya matahari langsung, ada di bagian bawah. Mahkota rimbanya terdiri dari tajuk pepohonan tinggi, yang memiliki bakat untuk tumbuh menjulang disangga batang pohon yang lurus dan kokoh.

Pepohonan, jamur, dan semak terus tumbuh dan berganti. Tapi, dalam rimba hutan perawan di daerah hujan tropis seperti di Indonesia, aturan main tetap terjaga. Dari waktu ke waktu formasi tak berubah. Bisa jadi selama ratusan atau ribuan tahun. Sesekali terjadi kebakaran bila muncul fenomena ekstrem. Maka, hutan pun menjadi penyangga ekosistem, termasuk di dalamnya tata air yang menentukan hidup-matinya danau dan sungai-sungai.

Sejarah ekologi hutan tropis basah kita menunjukkan bahwa kebakaran hutan adalah hal yang sangat jarang terjadi. Studi Goldammer dan Siebert (1999) terhadap radiocarbon dates atas sisa batu bara yang terbakar (akibat gejala alamiah) di Kalimantan Timur menunjukkan, rentang waktu antara dua kebakaran itu bisa lebih dari 2.000 tahun.

Kini hampir tiap tahun kita mendengar musibah kebakaran. Agaknya, jelas ini akibat ulah manusia --lepas dari siapa pun dia, peladang berpindah, pengusaha perkebunan, atau pelaku illegal logging yang ingin menghilangkan jejak. Dua kelompok terakhir ini yang bisa menimbulkan dampak dalam skala luas. Mereka tidak menghargai lagi kebajikan yang terkandung dalam hukum rimba.

Bagi mereka, mungkin hutan hanya dianggap sebagai tempat bersarang hewan buas, predator. Atau barangkali mereka juga tidak pernah kenyang menyantap kayu-kayu hutan. Mereka pun tak peduli hutan hancur dan berubah jadi padang ilalang. Padahal, ilalang itu simbol kebangkrutan hutan.

Barangkali, yang tega melakukan perusakan itu mamalia jenis baru, yang tergolong predator dari segala predator.

Putut Trihusodo
[Lensa, Gatra Nomor 42 Beredar Kamis, 31 Agustus 2006]

[+/-] Baca Selengkapnya...