Di Balik Senyum Condy

Senin, 20 Maret 2006

Putut Trihusodo

DENGAN memboyong satuan pengamanan sendiri, berseragam militer dan bersenjata pula, Condoleeza Rice datang ke Jakarta dengan penuh percaya diri. Memang tidak lazim dalam tata krama di dunia diplomatik. Tapi, siapa yang bisa menolak. Bahkan, saat menyambut Menteri Luar Negeri Amerika Serikat itu pekan lalu, kita ikut jadi paranoid. Sekitar 1.500 personel polisi dikerahkan.

Condy Rice, begitu dia biasa disapa, adalah andalan Presiden George W. Bush dalam urusan politik luar negerinya. Pers menyebutnya orang kuat kedua di Amerika setelah George Bush. Tak mengherankan bila predikat itu jatuh ke sosok Menteri Luar Negeri, karena segala urusan domestik di Amerik Serikat sudah tertangani oleh negara bagian, distrik, dan swasta. Gedung Putih bobotnya lebih ke ''pemerintahan dunia''. Condy tumpuannya. Sosoknya sebagai perempuan terpelajar, cerdas, gaul tapi tegas mendukung pekerjaan beratnya itu.


Di Jakarta, Condy berbicara banyak hal. Dari flu burung, HAM, problem laten Palestina, terorisme, hingga nuklir Iran. Tak lupa, ia memuji kemajuan demokrasi dan toleransi kehidupan di Indonesia. Ia tamu yang santun, yang tak ingin membuat tuan rumah malu hati. Memang tak ada yang harus membuatnya kesal. Urusan Exxon atas minyak Blok Cepu beres. Freeport secara bisnis juga aman-aman saja.

Toh, semenarik apa pun kepribadian Condy Rice, tetap saja ia bekerja untuk national interest Amerika Serikat versi Gedung Putih. Semanis apa pun ia berbicara, misinya adalah untuk kepentingan nasionalnya. Jadi, tugas pokoknya adalah merayu, membujuk, menekan. Tidak kurang, tidak lebih. Condy instrumen terdepan untuk menegakkan kepentingan Amerika dalam "pemerintahan" dunia Gedung Putih yang berotak dan berotot.

Kekuatan militer Amerika Serikat tak ada bandingnya. Negeri ini mengalokasikan US$ 401 milyar untuk keperluan militer pada 2005. Itu tidak termasuk ongkos operasi di Irak dan Afghanistan. Anggaran pertahanan Amerika, termasuk untuk operasi intelijennya, setara dengan 40%-45% anggaran militer dunia. Kalau kekuatan militer itu berbanding lurus dengan dana, kekuatan Amerika hampir setara dengan kekuatan sisa dunia.

Setelah mengalami perang saudara yang dahsyat pada 1860-1865, angkatan perang Amerika Serikat tak pernah lagi beroperasi di home land-nya. Mereka bermain di tanah orang. Dari Perang Dunia (PD) I, Perang Dunia II, Perang Korea, lalu Perang Vietnam. Setelah Perang Dingin usai, spektrum daerah operasi militer Amerika malah makin luas. Posturnya merang lebih ramping, hanya sekitar 1,5 juta personel --bandingkan dengan era PD II yang mampu memobilisasi sampai 5 juta prajurit. Tapi kini militer Amerika sarat teknologi. Kapasitasnya mumpuni untuk mengontrol dunia.

Atas nama membantu kawan seiring, Presiden George Bush (senior) menghajar Irak pada Perang Teluk I di tahun 1991. Dengan cara lebih elegan, Presiden Bill Clinton menyerang kekuatan Serbia di Kosovo. Clinton meyakini apa yang terjadi di negeri Balkan itu adalah para pemimpin yang melakukan tindak kriminal di negara sendiri dengan melakukan genosida. ''Karena genosida menjadi kebijakan nasionalnya, kita harus menyerang,'' kata Clinton. Tapi ia berdiam diri atas genosida di Rwanda dan Somalia.

Era George Bush lain lagi. Serangan 11 September 2001 membuatnya menyusun peta perang baru. Ada negara-negara yang dianggapnya hostiles. Afghanistan, Irak, Korea Utara ada dalam list-nya. Ada pula yang disebut unstable nations. Di situ, 25 negara masuk daftar, Venezuela di bawah Hugo Chavez, Bolivia, Peru, Aljazair, Sudan, dan Nigeria. Terhadap dua kategori negara tersebut, militer Amerika Serikat diizinkan menyerang! Bila perlu.

Mana musuh dan mana kawan, Gedung Putih tampaknya punya ukuran jelas: sejauh mana kepentingan atas kenyamanan hidupnya diakomodasi. Di balik senyumnya, Condy bertugas memastikan, kalau langkah diplomasi dan kebijakan ekonomi direspons secara positif, peluru tak perlu meletus.

Gatra, 20 Maret 2006


[+/-] Baca Selengkapnya...