Menyongsong Apocalypse Ketiga

Selasa, 23 Januari 2007

Oleh Putut Trihusodo
Cadangan minyak akan lebih cepat habis dari yang diperkirakan. Peradaban manusia modern telah menimbulkan ancaman serius. Suhu udara global naik 5 derajat celsius di akhir abad ini. Tapi akibatnya mengerikan.

HALF GONE: OIL, GAS, HOT AIR AND THE GLOBAL ENERGY CRISIS
Penulis: Jeremy Leggett
Penerbit: Portobello Books Ltd, London, 2006 (322 halaman)

Minyak itu segala-galanya. Sembilan puluh persen transportasi, baik di darat, udara, maupun air, bertumpu pada bahan bakar minyak. Sembilan puluh lima persen barang di toko melibatkan minyak dalam proses produksinya. Bahkan 95% bahan makanan memerlukan minyak untuk pengadaannya. Sebagai contoh, di Amerika, peternak sapi memerlukan enam barel minyak untuk memelihara sampai membawa dagingnya ke pasar.

Keruan saja, konsumsi minyak terus saja membubung. Saat ini, konsumsi minyak dunia mencapai 80 juta barel per hari atau 29 milyar barel per tahun. Pada 2025, menurut prediksi Pemerintah Amerika Serikat, konsumsi minyak akan melonjak ke 120 juta barel per hari atau 43 milyar barel per tahun. Versi lainnya, International Energy Agency, 121 juta barel per hari pada 2030. Konsumsi Amerika Serikat seperempatnya.

Upaya mengerem laju konsumsi itu selalu sulit. Kalau saja, misalnya, industri mobil Amerika sudi meningkatkan efisiensi mobil sport dan truk-truk mereka dengan 2,7 mil per galon, negeri itu bisa mengurangi seperempat konsumsinya. Bayangkan, komsumsi minyak di Amerika sehari mencapai 20 juta barel, dan 5 juta di antaranya diimpor dari Timur Tengah.

Boro-boro mau berhemat. Industri otomotif malah memanjakan konsumen dengan mobil-mobil keren tapi boros, terutama kategori sports utility vehicles (SUVs). Pada 1975, populasi SUVs ini hanya 2%. Kini melonjak jadi 24%. Tentu saja, efisiensi bahan bakar rata-rata mobil di sana turun dari 26,2 mil per galon pada 1987 menjadi 24,4 mil per galon pada 2001. Minyak akan habis lebih cepat.

Titik Puncak

Salah satu bagian menarik dalam buku Jeremy Leggett itu ialah bagaimana dia mengulas tentang titik puncak dalam kurva produksi minyak dunia (topping point) sepanjang sejarahnya. Menurut Leggett, sejarah minyak bumi, sejak ditemukan di Amerika Serikat pada 1859, tidak akan lebih panjang. Setelah titik puncak terlewati, eksploitasi minyak (juga gas) akan menyusut untuk kemudian punah sama sekali.

Di situlah Leggett membenturkan pendapat dua kubu. Yang satu optimistis, sumber-sumber minyak baru akan terus ditemukan hingga tersedia dalam waktu lebih panjang. Kubu ini diwakili kalangan industri minyak, bankir, sekuritas, lembaga-lembaga pemerintah, analis ekonomi, dan mereka yang berkepentingan dengan pihak-pihak tadi.

Mereka dianggap sebagai kelompok yang percaya bahwa cadangan potensial minyak dunia masih 2 trilyun barel. Kalangan ini percaya, produksi minyak dunia masih bisa digenjot naik melampaui angka 40 milyar barel per tahun pada 2020-an. Leggett menyebut mereka the late toppers.

Sebaliknya, kubu kedua yakin, cadangan minyak dunia akan segera habis... bis. Mereka disebut terdiri dari para "pembangkang", yakni para pakar independen, wartawan, dan pencinta lingkungan. Kelompok kedua yang disebut early toppers ini berpegang pada kenyataan bahwa deposit minyak dunia terbukti tinggal tersisa 780 milyar barel. Angka ini di bawah statistik bahwa minyak yang telah disedot dari perut bumi sejak 1859 mencapai 920 milyar barel.

Kelompok kedua, the early toppers, tak menafikan bahwa masih banyak minyak yang bersembunyi dalam perut bumi yang belum terendus oleh pihak industri. Tapi tidak sebesar yang diduga kalangan late toppers. Maka, mereka menduga, produksi minyak dan gas pada 2015 akan mencapai titik kurva tertinggi. Produksi akan segera menurun tajam pada tahun-tahun berikutnya.

Salah satu hal menarik yang diungkapkan Leggett ialah kenyataan betapa kelompok late toppers sering semau-maunya merilis angka deposit minyak. Ia mengutip sinyalemen keluhan Sir Phillip Watts, chairman raksasa minyak Shell. Menurut dia, seperti dikutip Leggett, estimasi Shell 20% lebih besar dari angka semestinya.

Jeremy Leggett juga menulis betapa janggalnya angka global oil's reserves versi BP (Beyond Petroleum), raksasa minyak yang lainnya. Dalam versi ini, deposit minyak yang telah terklarifikasi secara teknis adalah 1,147 trilyun barel. Leggett menyebut angka ini hanya dicomot dari Sekretariat OPEC, kantor industri minyak, dan lembaga pemerintah dari pelbagai negara. Celakanya, data itu menjadi acuan banyak orang, mulai mahasiswa hingga pelaku ekonomi, meski akurasinya lemah.

Data itu disebut meragukan, karena BP tak secara cepat memperbaruinya. Sementara itu, beberapa negara produsen minyak sudah meng-up-date-nya sesuai hasil observasi terbaru. Iran, misalnya, dalam data BP disebut memiliki potensi 90 milyar barel. Namun Samsan Bakhtiari dari National Iranian Oil Company belakangan mengakui bahwa estimasi 37 milyar barel adalah angka yang realistis.

Saksi Ahli

Tak hanya menggugat data BP, penulis juga mencoba menggugah para pembaca tentang krisis bahan bakar fosil itu. Leggett, pakar sejarah geologi yang meraih PhD dari Universitas Oxford, Inggris, melakukan pendekatan lain. Ia menghadirkan sosok-sosok ilmuwan geologi yang juga praktisi perminyakan, yang menjadi "saksi ahli" untuk mendukung tesisnya tentang sumber daya fosil yang disebut telah tandas separuh itu.

Di antaranya adalah Colin Cambell, geolog, peraih PhD dari Oxford pula, yang selama lebih dari 20 tahun menggeluti eksplorasi minyak melalui perusahaan tempat ia bekerja: Texaco, BP, kemudian Amoco. Cambell, yang kini menjadi konsultan dan memiliki database dari 18.000 unit ladang minyak, memberi kesaksian bahwa klaim penemuan ladang baru itu tidak sebesar yang diperkirakan. Bahkan 80% produksi minyak dunia saat ini berasal dari ladang minyak yang ditemukan sebelum 1973.

Selain Cambell, Leggett juga menghadirkan pakar lain yang punya reputasi tinggi, Chris Skrebowski dan Matthew Simmons. Mereka menolak hipotesis tentang teori cadangan minyak yang melonjak.

Efek Rumah Kaca

Satu setengah abad peradaban manusia mengonsumsi minyak bumi telah melahirkan kesadaran mengenai pemanasan global. Pembakaran minyak, gas, dan batu bara membuat atmosfer bumi makin dijejali gas CO2, komponen utama dalam fenomena gas rumah kaca. Karbon dioksida itulah yang membuat sebagian energi panas matahari yang menerpa bumi terjebak di atmosfer. Suhu udara pun merambat naik.

Sampai awal abad ke-21 ini, kenaikan temperatur belum terasa menyengat. Tapi suhu udara akan naik seiring lonjakan konsentrasi CO2-nya. Celakanya, selama beberapa dekade terakhir, kenaikan kadar gas asam arang itu mengikuti kurva eksponensial yang menjulang tinggi dalam waktu yang singkat.

Sebagai pakar sejarah geologi, Jeremy Leggett bertutur tentang 400.000 tahun sebelumnya, ketika kadar CO2 praktis stabil pada kisaran 200-300 ppm. Namun, akibat pemborosan bahan bakar fosil itu, kini konsentrasi CO2 melompat di angka 380 ppm. Ada kenaikan suhu rata-rata dunia, kecil saja, tak sampai 1 derajat celsius.

Namun tren bahaya ini terus berlanjut. Leggett mengingatkan soal ambang batas yang tipis, yakni 2 derajat celsius. Lebih dari itu, pelbagai bencana bisa dipastikan akan melanda bumi, dan itu tak akan lama lagi, yakni tahun 2050-an. Bahkan, di akhir abad ke-21 ini, suhu rata-rata dunia akan meningkat sampai 5 derajat celsius.

Jangan tanya soal akibat sosial atau ekonominya. Secara fisik, bumi akan menderita serius. Muka air laut naik, ketersediaan air bersih terguncang, paceklik bahan pangan, keragaman hayati merosot tajam, banjir, badai, dan seterusnya. Kehancuran tak akan bisa dielakkan.

Apocalypse

Kiamatkah? Apa pun namanya. Namun, sebagai ahli sejarah geologi, Jeremy Leggett mengisahkan di bagian pertama bukunya yang ditulis secara menarik, dalam, dengan bahasa tutur yang mengalir --dengan tajuk ''The Story of the Blue Pearl''-- bahwa bumi telah dua kali mengalami kehancuran dahsyat (apocalypse).

Yang pertama terjadi sekitar 350 juta tahun silam. Bumi tiba-tiba kerkabut tebal. Udara tak lagi bisa dipakai untuk bernapas. Laut kehilangan oksigen. Sekitar 90% spesies makhluk hidup yang ada di dunia musnah. Para ahli geologi belum dapat memastikan penyebabnya. Ada yang mengatakan akibat erupsi gunung-gunung berapi. Ada pula yang bilang karena bumi ditabrak batu meteorit raksasa. Yang kedua, 65 juta tahun silam, terjadi karena ada meteor menabrak bumi. Ekosistem dinosaurus punah.

Apocalypse ketiga? Leggett menyebutnya terjadi karena ulah manusia. The thinkers, demikian ia menyebutnya. Makhluk berakal itu ternyata tak bisa mengendalikan nafsunya. Alam dieksploitasi habis-habisan dan akhirnya kolaps. Akan ada zaman baru lagi? Leggett tak membahasnya.

Januari 2007


[+/-] Baca Selengkapnya...