Koeli Kontrak di Kebun Tebu

Senin, 15 Agustus 2005

Sistem ekonomi kolonial tak cuma meninggalkan kemelaratan. Juga membawa budaya cocok tanam, sistem uang, dan budaya industri. Sistem perkebunan dan pertanian masa kemerdekaan terbukti tak lebih baik daripada masa kolonial.
***********
SEJARAH ekonomi Nusantara di zaman kolonial adalah sebuah buku yang sarat dengan catatan paradoksal. Pada satu sisi, pemerintah kolonial Hindia Belanda telah berhasil membangun kekuatan ekonomi besar yang berbasis usaha perkebunan. Di penghujung tahun 1930-an, lahan perkebunan yang menghampar di Oost Indie tak kurang dari 2.500.000 hektare. Sebagian besar di Jawa dan Sumatera. Ada kopi, teh, tebu, karet, tembakau, dan segala jenis komoditas lain. Ketika itu, Hindia Belanda adalah pemain dunia untuk komoditas perkebunan.

Organisasi ekonomi modern juga telah terbentuk. Bank-bank bertebaran. Pasar modal sudah beroperasi. Perusahaan multinasional pun ikut meramaikan panggung bisnis Hindia Belanda. Insfrastruktur yang ada cukup memadai untuk mendukung kegiatan ekonomi berskala besar. Pelabuhan-pelabuhan siap melayani bongkar muat kapal. Jalur kereta api merentang 6.811 kilometer panjangnya.

Sektor industri dan perdagangan tumbuh. Daerah Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo sudah dirintis menjadi daerah industri. Tak hanya pabrik sabun dan kecap yang hadir di sana. Ada juga industri peleburan baja, semen, dan keramik. Dibandingkan dengan negeri jiran seperti Malaysia dan Thailand, jelas Hindia Belanda telah melangkah dua-tiga tindak di depan.


Namun, di sisi lain, hiruk-pikuk kegiatan ekonomi itu jauh dari niat memakmurkan rakyat. Warga pribumi tetap miskin dan rombeng. Statistik 1930 menunjukkan, dari pendapatan "nasional" Hindia Belanda yang mencapai sekitar 670 juta gulden ketika itu, 59,1 juta warga bumiputra hanya memperoleh porsi 3,6 juta gulden (0,54%). Penduduk "Asia lainnya", terutama Tionghoa, yang populasinya 1,3 juta, meraup 0,4 juta gulden. Sedangkan bagian terbesar, 665 juta gulden (99,4%), dikuasai warga kelas wahid kulit putih yang cuma berjumlah 241.000 jiwa.

Orang-orang Belanda datang dari seberang lautan memang bukan untuk memakmurkan warga boemipoetera di negeri Nusantara. Motif mencari kejayaanlah yang membawa ekspedisi dagang orang-orang Belanda ke Kepulauan Nusantara, yang dirintis Cornelis de Houtman. Armada laut berkekuatan empat kapal ini mendarat di Banten pada 1596, dengan napak jalur pelaut Portugis, Vasco da Gama, yang datang seabad sebelumnya.

Ketika itu, memang era kebangkitan bangsa kulit putih Eropa, setelah membebaskan diri dari zaman kegelapan sejarahnya melalui revolusi pemikiran, renaisans. Rasionalitas menjadi kompas bagi akal budi bangsa Eropa. Mereka lantas berlomba-lomba menaklukkan alam, menguasai dunia. Negeri-negeri Timur, drngan kekayaan rempah-rempah, emas, dan sutra, menjadi incaran. Apalagi, trayek tradisional, melalui "jalur sutra" tradisional, telah tertutup seiring penguatan Kesultanan Turki yang telah merebut Konstantinopel.

Mula-mula para pelaut Portugis dan Spanyol-lah yang menguasai alur pelayaran ke Asia. Belanda tidak mau ketinggalan. Ekspedisi De Houtman itulah yang mengawali kedatangan armada-armada Belanda. Rupanya, Kepulauan Nusantara dianggap sebagai lahan bisnis yang menarik. Maka, para saudagar Belanda itu kemudian menghimpun diri dalam VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dibentuk pada 20 Maret 1602 di Amsterdam. VOC menjadi perserikatan maskapai. Ia mulai menancapkan pengaruh di Banten pada 1603, lalu ke Ambon tahun 1605.

Perserikatan dagang itu, tutur Prof. Dr. Suhartono, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bukanlah murni organisasi dagang swasta, separuh badan pemerintah. "Maka, ia punya hak-hak istimewa," katanya. Dalam lima tahun saja, VOC punya 15 armada, dengan kekuatan 65 kapal, yang berbasis di Pelabuhan Rotterdam, Amsterdam, dan Middelburg.

Hak-hak istimewa VOC antara lain membuat kontrak, membangun kekuatan militer, dan boleh mencetak mata uang. Mereka bekerja di Afrika Selatan, India, Malaka, dan seluruh pelosok Nusantara. Sejak VOC beroperasi, muncullah dualisme sistem ekonomi: ada sistem ekonomi kolonial dan kemudian sistem ekonomi pribumi. Tapi, dalam perkembangannya, ekonomi kolonial dengan VOC-nya mencaplok sistem ekonomi pribumi yang nyaris tanpa organisasi.

Pada awalnya, VOC menjalankan usaha dagang rempahnya dengan cara barter ke penduduk pribumi. Namun, tak lama kemudian, ia secara sepihak mengambil langkah monopoli. VOC menjadi satu-satunya pembeli komoditas pribumi, dan satu-satunya pula yang menjual ke pihak lain. Untuk urusan inilah, kekuatan militer mereka perlukan. Benteng-benteng serdadu lalu bermunculan di kota-kota pesisir di Jawa, Sumatera, bahkan hingga Ternate, Tidore, Ambon, dan Banda.

Benteng-benteng bermeriam itu bisa dipakai untuk menjalankan dua misi sekaligus, untuk tempat mengepul barang sekaligus kekuatan penekan untuk menggaet kontrak eksklusif dari penguasa setempat. Untuk melemahkan penguasa yang tak mau tunduk pada proposal bisnisnya, VOC tidak segan menggunakan cara militer atau praktek memecah belah.

Pada masa itu, sejumlah penguasa yang tak sudi tunduk memilih melawan. VOC tak terkalahkan. Namun ia harus membayar ongkos besar untuk membiayai peperangan. Belum lagi, monopolinya itu mengundang keributan dengan pedagang dari Portugis, Spanyol, dan Prancis. VOC keteter dan tumbang. Era itu ditandai oleh hilangnya hak monopoli cengkeh di Ambon karena ekspansi Prancis, 1769-1772. Akhirnya, pada 1799, VOC dinyatakan bangkrut. Pasalnya, di saat situasi sulit itu, ia semakin kedodoran karena krisis keuangan.

M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern mencatat bahwa personel VOC pada tahun terakhir makin tak bermutu. Banyak di antara mereka direkrut dari orang-orang tidak terpelajar, petualang, preman, bahkan gelandangan. Hasilnya adalah aparat yang tidak becus, korup, nepotis, dan tukang mabuk.

Setelah VOC bubar dan sebentar diambil alih Prancis dan Inggris, administrasi Hindia Belanda dipegang Nederland langsung. Namun, sebelum bubar, kongsi dagang ini sempat membuka perkebunan teh dan kopi di dataran tinggi Tangkuban Perahu, Priangan, wilayah yang hingga kini masih kesohor sebagai penghasil java coffee.

Meski singkat, gaya kekuasaan Prancis dan Inggris di Jawa memberi dampak besar bagi sistem ekonomi kolonial di Hindia Belanda. Thee Kian Wie, peneliti senior ekonomi LIPI dan sejarawan ekonomi Indonesia, menyebut masa itu sebagai periode yang mengubah wajah Jawa. Periode pembaruan. Pada masa Marsekal Herman Willem Daendels sebagai gubernur jenderal, perpaduan antara pembaruan dan kediktaktoran diterapkan bareng.

Hasilnya adalah Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang membentang 1.000 kilometer dari Anyer ke Panarukan. Waktu tempuh yang dulu 40 hari diirit jadi enam hari. Dia juga berusaha memberantas korupsi dan penyelewengan dalam administrasi Eropa. Kedudukan Daendels pun pada 1811 digantikan Jan Willem Jansens. Namun, tak lama kemudian, Prancis kalah dari Inggris. Hegemoninya diambil alih Inggris.

Di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, menurut Thee, banyak sekali dilakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahun. Kebun raya di Bogor dan penemuan bunga langka terbesar dengan nama Rafflesia Arnoldi adalah jejak karya Raffles. Ia juga melakukan sensus pertama kali dan memberlakukan kebijakan sewa tanah. Pedagang swasta asing tak bisa membeli tanah pribumi, hanya boleh sewa.

Pemerintahan Raffles cuma bertahan lima tahun. Hindia Belanda kembali jatuh ke Nederland. Raffles kecewa karena sudah jatuh hati pada tanah Jawa. Untuk mengobati rasa kecewanya, Raffles habis-habisan membangun Singapura sebagai kota transit, yang ternyata di kemudian hari menjadi kota terpenting di Asia Tenggara.

Kembali di bawah Belanda, ekonomi kapitalis kolonial kian menjadi-jadi. Apalagi, keuangannya terkuras oleh Perang Jawa 1825-1830 (Diponegoro). Pemerintah Hindia Belanda semakin otoriter. Sistem sewa tanah dihapus oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch, diganti dengan pola yang lebih eksploitatif: cultuur stelsel, perkebunan negara, program yang lebih kondang dalam istilah tanam paksa.

Lahan pertanian yang tak dilindungi oleh bukti kepenguasaan diambil paksa oleh pemerintah Hindia Belanda. Petani pribumi pemilik lahan diwajibkan menyediakan seperlima lahannya untuk budi daya tanaman ekspor titipan pemerintah. Semua kerbau dan sapi harus dikerahkan untuk membantu program tersebut. Petani juga masih diwajibkan bekerja tanpa dibayar di perkebunan selama 66 hari setiap tahunnya.

Tentu, biaya produksi tebu, kopi, dan tembakau tanam paksa itu sangat rendah. Sangat kompetitif. Hindia Belanda serta-merta menjadi produsen penting di pasar dunia. Hindia Belanda kaya raya, dan bisa menyetor 72% dari pendapatan pemerintah kerajaan di Nederland. Dari situ pula, investasi jalan kereta api, pabrik gula, dan pelbagai infrastruktur dibiayai.

Perkebunan "tanam paksa" itu, menurut guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada, Prof. Soegijanto Padmo, diusahakan dengan tangan besi. Para buruh dikontrol ketat, meski mereka tak dibayar. ''Masuk dan selesai kerja harus tepat waktu. Sedangkan pada lahannya tak boleh ada tumbuhan lain kecuali yang diinginkan Belanda,'' katanya. Yang turut terciprat duit cultuur stelsel adalah penguasa pribumi dan para mediator warga Asia Timur.

Tanam paksa itu secara berangsur berakhir pada 1870, seiring munculnya tekanan dari kaum liberal di Belanda dan mengemukanya wacara politik etis (balas budi). Tapi, tanah-tanah perkebunan itu tak kembali menjadi ke petani. Karena investor swasta mengambil alih kepemilikan pemerintah Hindia Belanda. Mereka bahkan bisa menyewa "lahan negara" itu sampai 75 bahkan bisa 100 tahun. Toh, rakyat sedikit tertolong. Pihak swasta mempekerjakan mereka dengan upah, meski pas-pasan.

Walau sebagian kelompok penguasa pribumi ikut kecipratan booming tebu, tembakau, dan kopi, toh hanya segelintir dari mereka yang bisa tumbuh jadi borjuis lokal. Sempat keluarga Mangkunegaran, salah satu wangsa Mataram di Solo, ikut masuk ke bisnis tebu, memanfaatkan posisi kuat Hindia Belanda sebagai si raja gula dunia. Mangkunegaran membangun kebun dan pabrik gula. Namun bisnis itu tidak terlalu berhasil. Ada persoalan manajemen dan modal.

Menjelang akhir abad ke-19, desakan politik etis makin kuat. Pemerintah Hindia Belanda meresponsnya dengan tiga program: edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Sekolah rakyat dibuka. Saluran air dibangun dan warga miskin di Jawa dikirim ke luar pulau, bahkan sampai ke Suriname nun jauh di Amerika Latin.

Memang program baru itu memicu pertumbuhan. Produktivitas lahan, terutama di Jawa, meningkat tajam. Tapi, ujung-ujungnya, yang untung adalah perkebunan besar (onderneming) juga. Air irigasi lebih banyak dinikmati onderneming-onderneming itu. Sawah ladang petani dilewati saja. Anak-anak lulusan sekolah rakyat pun terserak di perkebunan besar, mengisi pos-pos tenaga terampil.

Apa pun, tumbuhnya perkebunan itu semakin memberi tempat bagi ekonomi uang. Para petani, baik yang memiliki tanah (kuli kenceng) maupun yang tidak berlahan (kuli kendo), berbondong-bondong bekerja sebagai kuli kasar di perkebunan karena tergiur menerima upah uang. Sistem ekonomi uang pun menggeser sistem pertanian subsisten. Namun, menurut Suhartono, pengajar sejarah sosial politik di Universitas Gadjah Mada, tak semua kuli bernasib serupa. ''Yang paling tereksploitasi adalah para buruh di industri tebu," ujarnya.

Tanaman tebu perlu perawatan lebih panjang. Tanam sampai panen perlu waktu 11 bulan. ''Para buruh di kebun tebu hampir tak punya waktu untuk menggarap lahan sendiri,'' kata Suhartono. Selain itu, di daerah perkebunan, berbagai penyakit seperti kolera, disentri, dan kudis mewabah. Kondisi itu kadang diperparah oleh kelaparan. Namun kaum kolonialis tutup mata.

Meskipun sistem tak berpihak pada rakyat, menurut Soegijanto Padmo, tatanan itu juga memberi andil atas tata perekonomian nasional era sesudahnya. Perkebunan, misalnya, mendekatkan masyarakat pada budi daya pelbagai tanaman ekspor. Secara umum, desa-desa yang dekat dengan industri perkebunan akan lebih maju dibandingkan dengan desa di luar perkebunan. Bahkan, menurut dosen sejarah pedesaan di Universitas Gadjah Mada itu, praktek ekonomi penjajah juga memberi andil bagi perekonomian saat ini, dengan mewariskan pelbagai infrastruktur penting, seperti jalur kereta api dan jalan-jalan raya di pedalaman.

Soegijanto menilai, justru pada masa kemerdekaan ini secara umum daya saing sektor perkebunan mengalami kemunduran. Penyebabnya, menurut dia, ketidakbecusan manajemen barunya menjaga disiplin, profesionalitas, dan akuntabilitas segenap jajarannya. Hasilnya, rantai produksi tidak cermat terkendali. Ia mencontohkan perkebunan tembakau di selatan Prambanan, Klaten, yang tak terawat baik. Kebun seperti dibiarkan diserang ulat dan ditumbuhi rumput. Akibatnya, produktivitas dan kualitasnya menurun. Ujungnya, harganya jatuh.

Wajah pucat dan merana perkebunan negara itu gampang dilihat di mana-mana. Terutama di kebun-kebun yang menghasilkan komoditas "tradisional" seperti kopi, tembakau, teh, serta karet. Keluarga buruhnya nyaris sama buruknya dengan para koeli kontrak hampir seabad lalu. Yang dulu mending. Meski buruhnya compang-camping, manajemennya keren, produksinya punya daya saing.

Fakta runtuhnya produksi perkebunan dan pertanian zaman kemerdekaan itu, tutur Suhartono, tak bisa ditutupi. Masyarakat Indonesia kurang memproduksi sesuatu. "Padahal, yang dikoporasikan dalam dunia global adalah produk," katanya.

Tak mudah untuk bangkit kembali. Tapi, di balik kerimbunan semak di kebun-kebun tua itu, masih terbaca pelajaran lama, warisan kaum penjajah, tentang bagaimana membangun disiplin, bekerja cermat, akuntabel, dan visioner. Ini tak berhubungan dengan kolonialisme.

Putut Trihusodo, G.A. Guritno, Ajeng Ritzki Pitakasari
Gatra, 15 Agustus 2005

[+/-] Baca Selengkapnya...

Merajut Tali Jiwa

Minggu, 14 Agustus 2005

Putut Trihusodo

Setiap kali lampu-lampu hias mulai berpijar; bendera dan umbul-umbul warna-warni berkibar (oleh tiupan angin kemarau Agustus yang kering dan berdebu), ada dua butir kata yang mengusik benak kita: negara dan kemerdekaan. Adakah keduanya masih menjadi mantra sakti, yang bisa membuat kita duduk tenang memikirkan persoalan bersama?

Mungkin sebagian dari kita memilih untuk memaknainya sebagai ritual tahunan. Toh, negara yang kini menginjak usia 61 tahun ini tak kunjung "memerdekakan" mereka dari impitan hidup yang terus menekan hari demi hari. Negara cuma menjadi alamat tujuan saat mereka kandas terdeportasi sebagai tenaga kerja ilegal; atau tempat yang menyediakan kubur bagi yang gugur diterjang bom di Lebanon --ketika berjuang demi asap dapur keluarga.

Sebagian dari kita juga memaknai kemerdekaan dan negara ini cukup dengan lampu hias dan umbul-umbul. Urusan mereka dengan negara hanya sebatas surat izin ini-itu, membayar pajak bumi dan bangunan, PPh, PPN, retribusi, sumbangan, dan semacamnya. Tak usah pula sebut-sebut lagi kata mutiara ala John F. Kennedy --''Jangan tanyakan apa yang diberikan negara padamu, tapi apa yang kamu berikan padanya". Itu terlalu gombal, bahkan untuk dipidatokan sekalipun.


Barangkali kita selama ini terlalu sibuk dengan urusan masing-masing hingga tak sempat bekerja sama memberikan makna lebih dalam mengenai negara dan kemerdekaan. Kita tahu, negara cuma sebuah kata abstrak yang tak memberikan apa-apa bila kita sendiri tak mengisinya dengan kerja sistematis yang terus-menerus tanpa batas waktu.

Mungkin sebagian dari kita sudah merasa bekerja keras. Tapi mungkin tidak terlalu keras dan tak pula cukup sistematis. Apa pun, kita sama-sama tahu, hasilnya masih jauh dari harapan tentang negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah....

Daya Saing

Yang kita saksikan selama ini adalah kisah-kisah tragis, ironis, atau apa pun yang bisa menggerogoti kebanggaan kita. Bahkan makin banyak dari kita kehilangan simbol-simbol kebanggaan, pamor, dan mungkin juga sebagian daya tahan.

Daya saing kita sebagai satu masyarakat telah pula merosot. Institute of Management Development (IMD), lembaga pendidikan yang berwibawa di Jenewa, menempatkan daya saing kita di posisi ke-60 pada 2006. Turun satu tangga dari tahun sebelumnya. Di bawah kita ada Venezuela. Namun negeri jiran Malaysia bisa mendaki ke posisi 23, Thailand 32, dan Filipina 49. Singapura, seperti biasa, ada di peringkat atas, yakni posisi ketiga di bawah Hong Kong (2) dan Amerika Serikat (1).

Pemeringkatan itu muncul dalam laporan survei bertajuk ''The World Competitiveness Scoreboard 2006''. IMD secara rutin melakukannya. Hasilnya, daya saing Indonesia di tahun 2000-an ini bertengger pada posisi sekitar 60. Sebaliknya, Singapura hampir tak pernah keluar dari posisi lima besar.

Peringkat yang relatif tinggi memang tak serta-merta menunjukkan sebuah negeri itu mapan dan makmur. Sebaliknya, yang posisinya rendah tak berarti miskin. Italia, sebagai misal, ada di peringkat ke-56 (2000). Namun peringkat ini menunjukkan berapa besar peluang sebuah negara menambah kapasitas ekonominya. Dengan bercokol di posisi rendah, jelas Indonesia bukan negara yang dilirik untuk kerja sama ekonomi.

Dalam menyusun peringkat daya saing itu, IMD bersandar pada 95 butir kriteria, yang kemudian diperas menjadi lima. Ada kriteria keilmuan, yang di dalamnya antara lain ada unsur sumber daya manusia, kapasitas riset, dan kemampuan menciptakan produk orisinal. Lantas ada kriteria lingkungan hidup dan kesehatan, pendidikan, teknologi, serta infrastructure basic. Termasuk yang terakhir (dari 22 kriteria) antara lain sumber daya alam, rel kereta api, jalan raya, dan harga listrik. Output dari kelima hal tadi berupa daya saing.

Banyak lembaga manajemen mengeluarkan survei serupa, dan ujung-ujungnya selalu menempatkan Indonesia di posisi yang jauh dari posisi terhormat. Kita memang bisa bicara tentang banyaknya cerdik pandai di sekitar kita, banyaknya anak berbakat, juga kekayaan alam yang melimpah dan posisi geografis yang penting. Mestinya, tinggal buka pintu, orang akan datang, lalu menawarkan pelbagai kerja sama. Tapi kita tahu, hal itu tidak pernah terjadi. Mengapa bisa begini?

Yang paling mudah adalah mencari kambing hitam. Kita bisa mengumpat kiri-kanan, menyalahkan kekuasaan, menghujat aparatur negara, mencela pengusaha, atau sekadar mengecam tatanan global. Namun sekadar mencela tanpa iktikad membangun suatu proses dialektika tak membuat kegagalan menjadi sebuah pelajaran. Sejarah nasional kita terpampang panjang di belakang. Mestinya sudah banyak pelajaran penting yang bisa kita tarik dari sana. Yang kita perlukan barangkali kejujuran dan kearifan untuk menarik hikmah dari sejarah.

Simbol Kebanggaan

Mungkin kini saatnya kita lebih rendah hati. Tak perlu lagi mencurigai sebuah kekuasaan sebagai hal yang seram mengancam. Ia perlu ruang untuk bergerak efektif. Belakangan kita diyakinkan, sekurangnya oleh filsuf Prancis Michel Foucault, bahwa kekuasaan pun membawa hal-hal yang konstruktif. Foucault menolak anggapan kaum strukturalis yang sering menggambarkan kekuasaan dari sisi kebuasannya. Kuasa bisa memberikan pengetahuan, kata Foucault, meski itu terkait dengan kepentingan kuasa itu sendiri.

Dalam konteks inilah kita bisa mengingat sosok Bung Karno, yang kuasanya memberi pengetahuan bagi kita bahwa betapa gelora nasionalisme yang ia kembangkan dapat menghimpun segala potensi negeri untuk kemudian berderap serempak. Masih segar dalam ingatan kita, betapa doktrin stabilitas dan konsistensi kebijakan di era Presiden Soeharto memberi peluang bagi banyak kegiatan ekonomi.

Namun, dari kedua pemimpin itu, kita juga bisa belajar perlunya kekuasaan itu dapat bersikap rendah hati agar amanah. Kondisi ini diperlukan agar ia tumbuh jadi sebuah kekuasaan yang efektif dan kokoh untuk mengorganisir segala potensi negeri ini. Kita memerlukan kondisi itu untuk membangun daya saing baru, sekaligus menghadirkan simbol-simbol kebanggaan baru bagi warga negara.

Di masa lalu, kita cukup bangga hanya dengan mendengar orasi tentang Indonesia adalah negeri zamrud khatulistiwa. Kita memerlukan simbol kongkret yang tidak saja memberikan kebanggaan, juga mengangkat martabat kehidupan rakyat. Ia bisa jadi sebuah ikon nasional yang mengakar pada perasaan publik secara luas.

Untuk simbol yang menjadi kebanggaan nasional, menjadi pengikat keutuhan bangsa, dalam orasinya di pelbagai kesempatan, Bung Karno menyebutnya sebagai ''tali jiwa". Kita memerlukan tali jiwa baru.

Pada edisi khusus 17 Agustus 2006 kali ini, Gatra mencoba menghadirkan sejumlah individu, karya, juga kekayaan alam yang berpotensi menjadi "tali jiwa" baru. Beberapa individu kami hadirkan untuk mewakili sekelompok intelektual yang mencoba mencari jalan guna mengembangkan potensi dan kekayaan alam yang ada. Sebagian lainnya mencoba membuat terobosan agar kerumitan yang ada menjadi lebih sederhana penanganannya.

Kami hadirkan pula produk-produk yang, betapapun sederhana, telah memberi arti bagi perekonomian kita. Mereka mampu bersaing di era serba bebas. Di bagian akhir edisi khusus ini, kami hadirkan potensi sumber daya alam yang tersisa, yang ternyata masih sangat berharga.

Edisi khusus Gatra kali ini hanya mencoba mengingatkan bahwa kita masih punya tali jiwa. Kita hanya perlu merajutnya lebih jauh agar ia bisa menjadi pengikat bagi jiwa nasionalisme kita di tengah gelora globalisasi ini.

Gatra, 14 Agustus 2006


[+/-] Baca Selengkapnya...