Putut Trihusodo
WABAH flu burung tiba-tiba berjangkit di Ragunan. Sebanyak 19 ekor burung koleksi kebun binatang di Jakarta Selatan itu dinyatakan positif terinfeksi virus H5N1, strain (galur) paling ganas dari keluarga Orthomyxoviridae. Serangan virus ini menimpa beo kecil, bangau tongtong, burung bluek, belibis mandarin, merak hijau, ayam kate, dan sejumlah satwa langka lainnya. Sungguh mengagetkan, virus ganas itu sudah menerobos ke pusat keramaian, tempat rekreasi rakyat.
Hari berikutnya, pasien yang diduga terjangkit virus avian influenza (AI), demikian flu burung ini disebut, membanjir ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso di Jakarta Utara. Sampai akhir pekan lalu, tercatat ada 18 pasien yang dirawat di RSPI tersebut, lima di antaranya pengunjung Kebun Binatang Ragunan. Dua lainnya memang anggota komunitas tempat rekreasi itu. Yang satu karyawan, dan yang lain pedagang asongan di situ. Dari jumlah ini, dua di antaranya positif terkena AI.
Secara nasional, angka suspect penderita flu burung 28 orang. Mereka berasal dari Bekasi, Tangerang, Jakarta, Medan, Makassar, serta Samarinda. Dua orang suspect meninggal dan dipastikan karena infeksi H5N1. Dua lainnya tewas dan secara klinis menderita gejala mirip serangan AI, tapi hasil tesnya negatif. Dua korban fatal lagi meninggal dengan hasil tes negatif, dan kemungkinan karena pneumonia biasa.
Pemerintah pun menetapkan status KLB (kejadian luar biasa). Indonesia juga resmi termasuk dalam kelompok 12 negara yang kini ada di bawah ancaman AI, misalnya Cina, Korea Selatan, Jepang, Vietnam, Thailand, lalu belakangan ke Kazakhstan dan Rusia. Tak di semua negara, korban jiwa manusia jatuh. Yang terberat ialah Vietnam. Sebanyak 40 orang tewas dari 90 korban yang terinfeksi. Kini flu burung dianggap sebagai ancaman pandemik, wabah berskala sangat luas dengan akibat yang hebat.
Angsa dari Qinghai
Dari mana flu burung itu datang? Muncul anggapan, virus itu masuk Ragunan dibawa burung-burung migran yang singgah ke kerimbunan pepohonan di kebun binatang itu. Teori penyebaran oleh burung migran ini memang dipercaya banyak orang, hingga ia kini dianggap sebagai ancaman global.
Pemerintah Amerika Serikat mencemaskannya. Ketika membawakan pidatonya di depan Sidang Umum PBB, pertengahan September lalu, Presiden George W. Bush menyinggung soal ancaman flu burung yang disebutnya bisa jadi pandemi pertama di abad ke-21 ini. ''Kita tak boleh membiarkannya terjadi,'' katanya. Ia lantas menawarkan kerja sama internasional untuk menangkal wabah ini.
Departemen Pertanian Amerika sendiri telah mencermati penyebaran virus H5N1 itu sejak 1998, setahun setelah virus ini muncul di Hong Kong. "Direktorat" Wildlife Desease, yang berada di bawah Departemen Pertanian Amerika (USDA), terjun memonitor burung-burung Alaska yang pada setiap musim dingin bermigrasi ke Asia dan Amerika Latin dengan memanfaatkan tiupan angin, mencari tempat yang lebih hangat. Selama tujuh tahun, 12.000 ekor diperiksa. Hasilnya, tak satu pun kedapatan terinfeksi H5N1.
Namun para pejabat USDA tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa cepat atau lambat virus ganas itu akan menembus Amerika. Cuma soal waktu. Bisa lewat angsa liar yang ternyata tidak imum terhadap virus ini, atau ekspor-impor daging ayam dan babi. Tak mengherankan bila Presiden Bush pun cepat-cepat membunyikan alarm.
Fakta bahwa burung migran itu menjadi agen penyebaran virus itu dilaporkan Guan Yi dan tim virologisnya dari Universitas Hong Kong. Lewat jalur tidak resmi, ia bisa mendapatkan hampir 100 sampel burung Danau Qinghai yang kedapatan mati, musim semi Mei lalu. Qinghai merupakan danau air asin besar, terletak di ketinggian hampir 3.000 meter di pedalaman Cina Tengah. Dari spesimen burung Danau Qinghai itu, Guan Yi mendapatkan bukti bahwa virus H5N1 telah menjadikan burung-burung migran itu sebagai inang sekaligus korbannya.
Laporan Guan Yi di buletin sains terbitan Inggris, Nature, edisi 7 Juli 2005 itu makin menyebarluaskan kecemasan. Betapa tidak, dari Danau Qinghai, komunitas burung migran yang jenisnya ratusan itu secara reguler terbang jauh ke Mongolia, Vietnam, India, Asia Tenggara, Kazakhstan, Danau Kaspia, bahkan ke Australia dan Selandia Baru.
Dari riset lanjutannya, Guan Yi juga menemukan ada 250 subtipe virus H5N1. Celakanya, yang kini berkembang di Qinghai, dan kemungkinan akan menyebar pada musim dingin mendatang, adalah subtipe yang ganas. Itu yang dilaporkan tim George Gao dari Institut Mikrobiologi Beijing di buletin Science. Virus itu bersarang pada kelompok angsa yang tiap musim dingin berkelana ke daerah Asia Tengara. Dalam uji lab, virus itu sangat mematikan, baik pada ayam potong maupun tikus.
Virus memang cepat beradaptasi, pun bermutasi secara genetik. Bahkan ia bisa melakukan swap, saling bertukar gen. Meski mutan ini umumnya tak cukup tangguh untuk survive, ada peluang walaupun kecil swap ini berhasil. Teori ini yang menjelaskan mengapa ia bisa berpindah dari burung liar ke ternak unggas, juga sebaliknya, lantas beradaptasi ke tubuh mamalia, termasuk manusia.
Toh, sejauh ini, penularan AI tidak pernah dilaporkan terjadi dari manusia ke manusia. Jalur penularan yang lazim ialah melalui kotoran burung yang terinfeksi. Kotoran itu mengering, pecah menjadi serpihan, terhambur oleh tiupan angin, lalu masuk terhirup oleh pernapasan manusia. Bisa juga lewat jalur konsumsi daging unggas dan mamalia inang yang tak diolah secara memadai. Flu burung tak perlu sayap untuk penularannya.
Memang ada kekhawatiran, virus AI ini akan melakukan swap dengan virus influenza biasa yang membuat penularannya bisa langsung dari manusia ke manusia --melalui bibit yang terlontar saat orang batuk atau bersin. Namun, tanpa harus jadi virus super pun, AI sudah cukup menularkan kecemasan kepada Michael Ostherholm, Direktur Center of Infectious Desease Universitas Minnesota, yang juga pejabat Departement of Homeland Security Amerika Serikat. Ia mengingatkan, isu H5N1 itu bukan soal kemungkinan kejadiannya. ''Ini soal kapan, di mana, dan seberapa parah,'' katanya.
Pandemi Global
Sebagai pakar kesehatan, Michael Ostherholm tentu tak bisa menyepelekan influenza. Sejarah mencatat, wabah virus flu Spanyol 1918 menjangkiti 30% penduduk bumi dan menimbulkan kematian pada 100 juta insan! Itu terjadi hanya dalam tempo 24 pekan.
Digambarkan Time, 26 September 2005, saat wabah flu Spanyol itu menyerang, kota Philadelphia, Amerika, dipenuhi tumpukan jenazah yang sudah berhari-hari tak sempat dievakuasi. Pada saat yang sama, kota Cape Town di Afrika Selatan sibuk melakukan penguburan massal para korban influenza.
Namun wabah influenza berikutnya tidak sedahsyat tragedi 1918. Wabah flu Asia yang merebak pada 1957 "hanya" merenggut dua juta jiwa. Kemudian flu Hong Kong yang merajalela tahun 1968 meminta korban satu juta. Tren penurunan korban yang signifikan. Begitu pula ketika wabah SARS (severe acute respiratory syndrome) merebak pada 2003, menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, korban jiwa "hanya" sekitar 507 orang, dari 7.400 orang yang diduga terinfeksi oleh virus ini.
Dibandingkan dengan virus corona, penyebab SARS, virus AI tipe H5N1 lebih ganas. Gugus H (hemaglutinin) dan N (neuramidase) mampu menginfeksi organ saluran pernapasan bagian bawah manusia dan merusaknya. Tingkat kematian pada penderita flu burung bisa 45% di Vietnam. Mortalitas SARS masih di bawah 10%. Namun jalur penularan SARS lebih gawat: dari orang ke orang. Ledakan SARS jilid kedua bisa dicegah setelah Pemerintah Cina memburu dan mengisolasi musang liar, hewan yang dari penelitian Guan Yi di Hong Kong terbukti sebagai inang paling potensial.
Kedua virus itu juga punya kesamaan: lahir di Cina Selatan. Begitu pula dengan flu Asia dan flu Hong Kong. Daerah berpenduduk padat di Cina Selatan itu mengalami pergolakan ekologis berat, suasana yang memberi peluang lahirnya mutan berbahaya.
Menghadapi kemungkinan ledakan wabah flu burung, dunia internasional lebih siap. Pelbagai vaksin sudah disiapkan, meski keampuhannya harus berlomba dengan kecepatan virus bermutasi dan beradaptasi. Beberapa obat, semisal Tamiflu, efektif menghambat pertumbuhan virus. Mungkin, seperti SARS, pandemi flu ini tak akan seakut flu Hong Kong atau flu Asia dulu.
Namun, dalam tatanan ekonomi global saat ini, seperti pada SARS, wabah kecil pun mampu membuat kerugian besar, US$ 40 milyar, Rp 400 trilyun, hanya untuk kawasan Asia Pasifik. Mahal, memang. Kesulitan itulah yang kini dihadapi Indonesia, negeri yang sedang sibuk memangkas subsisdi BBM demi menyelamatkan anggaran. Kini pemerintah terus menyiapkan langkah-langkah pencegahan dan penanganan.
Toh, kecemasan tak mudah hilang. Kecemasan yang sama juga melanda negara maju dan kaya seperti Amerika. Departemen Kesehatan Amerika Serikat tak punya resep cespleng guna meredam kekhawatiran warganya. Mencegah migrasi burung tak mungkin. Padahal, 20% warga Amerika rentan terhadap influenza setiap perubahan musim. Resep yang ditawarkan akhirnya, ya, kembali ke pertahanan individual. Hidup sehat dan memelihara kebugaran badan. Itu cara paling mudah dan murah menghadapi ancaman virus ganas ini.
GATRA, 26 September 2005
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar