Yellow Cake

Senin, 15 Mei 2006

Putut Trihusodo

SEBAGAI bahan mineral, uranium bisa ditemukan di banyak tempat, di kelima benua. Namun hanya Australia yang diakui sebagai lumbung uranium dunia, karena 40% depositnya dipercaya ada di ''negeri kanguru'' itu. Selebihnya ada di Kanada, Cina, Kazakstan, Uzbekistan, atau negeri-negeri Afrika: Namibia, Nigeria, dan Mali.

Bukan hal aneh bila mineral yang sama ditemukan di banyak tempat. Bukankah seluruh batuan bumi ini berasal dari materi yang sama, yakni serpihan ''Big Bang''. Pakar mineral dapat mengendus kehadiran uranium cukup dengan melihat batuan, apakah dia uranitite, carnotite, lignite, monazite, atau yang sejenisnya. Maka, bukan hal aneh pula bila uranium ditemukan di tanah Kalimantan, Papua, hulu Amazon, atau di daerah perbukitan Iran Tengah.

Keberadaan mineral uranium (U) take serta-merta dapat mendatangkan laba. Apalagi, ia bisa hadir dalam bentuk tiga isotop, U-234, U-235, dan U-238. Semuanya bersifat radioaktif, tapi hanya U-235 yang bisa menjalani reaksi pembelahan (fisi), hal terpenting untuk keperluan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ataupun bom atom! Makin tinggi konsentrasinya, makin ekonomis harganya.

Secara umum, batuan beruranium itu mengandung ketiga isotop tadi, dengan komposisi bervariasi. Porsi U-235 pada batuan alam biasanya cuma 0,7%. Untuk jadi elemen bakar PLTN, diperlukan pengayaan U-235 hingga 3%, dan di atas 80% untuk bom.

Amerika Serikat adalah negara yang paling maju memanfaatkan nuklir, untuk maksud damai atau perang. Sejarah pun mencatat, debut momumentalnya adalah bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, Agustus 1945. Setelah itu, sembari terus membiakkan bom atomnya, Amerika memulai penggunaan nuklir sebagai sumber energi dan alat diagnonis.

Selama Perang Dingin, Amerika dan sekutunya pun terus mempersenjatai diri dengan rudal berkepala nuklir. Tapi, untuk mereka yang tak terkait langsung dengan Perang Dingin, Gedung Putih menggiring ke perjanjian antiproliferasi (penyebaran) nuklir. Iran dan Indonesia ada di dalamnya. Amerika memegang kontrol lebih kuat atas konvensi ini.

Maka, kini Gedung Putih pun resek saat mendengar bahwa Iran ingin mengembangkan diri menjadi negeri nuklir. Dengan bantuan Rusia, Iran mencoba memanfaatkan uranium miliknya untuk reaktor PLTN. Segera, International Atomic Energy Agency (IAEA), sebuah lembaga PBB, diturunkan untuk memantau. Hasilnya, IAEA menyimpulkan, Iran berpotensi membuat bom nuklir karena kemampuan teknik pengayaan uraniumnya.

Tingkah Amerika makin menjadi. Ia menekan Iran agar menghentikan proyek pengayaan uraniumnya. Kalau tidak, ada akibatnya: bisa embargo ekonomi, bisa juga tindakan militer. Toh, Iran tak gentar. Ia merasa hanya memanfaatkan nuklir untuk energi. Lagi pula, mengapa harus memenuhi kemauan Amerika? Kalaupun mau bikin bom, mengapa harus dilarang, sementara Amerika sendiri kolektor terbesarnya?

Memang tidak bisa dimungkiri bahwa tak ada garis batas yang tegas antara teknologi nuklir damai dan nuklir perang. Tahapannya jelas, batuan uranium diolah menjadi adonan kuning yellow cake, substansi dengan kandungan U lebih besar. Yellow cake lalu diubah menjadi gas "U-heksaflorida", kemudian masuk proses sentrifugasi untuk menghasilkan substansi dengan konsentrasi U-235 untuk elemen bakar PLTN, atau kadar di atas 80% untuk bom atom.

Salah satu produk samping PLTN adalah isotop U-238, yang hanya dengan tembakan netron bisa jadi plutonium-239. Ini bahan baku bom atom yang lebih dahsyat. Secara teknis, memang, tujuan nuklir damai dan perang itu sangat tipis. Semuanya terpulang pada niat.

Dalam sejarahnya, Amerika pernah memanfaatkan PLTN-nya jadi pabrik bom atom. Pada 1954, Kongres Amerika mengamandemen Atomic Energy Act. PLTN swasta menerima U-235 dari negara, tapi produk plutoniumnya harus diserahkan ke pemerintah untuk bom nuklir. Keputusan itu dihapus di kemudian hari. Namun, tahun 1981, Presiden Ronald Reagan mengirim proposal ke Kongres untuk memanfaatkan PLTN swasta sebagai pabrik plutonium. Proposal itu mentok di Kongres.

Tak mengherankan kalau kini Gedung Putih menanggapi secara paranoid PLTN Iran, negeri yang tak pernah tunduk pada kehendaknya. Boleh jadi, Pemerintah Amerika Serikat bercermin pada dirinya bahwa semua orang punya rencana jahat, seperti yang selalu disiapkan oleh ahli-ahlinya di Left Wing Gedung Putih.

Gatra, 15 Mei 2006


[+/-] Baca Selengkapnya...

Kebajikan Air

Senin, 01 Mei 2006

Air adalah karunia alam yang tidak bisa diproduksi. Sejak bumi ini terbentuk sebagai planet yang khas, dengan segala kehidupan di atasnya, jumlah air praktis tak pernah bertambah atau berkurang. Suatu kali, memang permukaan laut menyusut drastis dan permukaan bumi meluas. Toh, air tak lari ke mana-mana. Ia cuma terkumpul sebagai gunung es di kedua kutub bumi.

Begitu gunung es mencair, karena perubahan temperatur atmosfer bumi, paras laut pun meluas hingga mengambil porsi 70% dari permukaan bumi seperti saat ini. Kelak, porsi 70% itu bertambah seiring munculnya gejala pemanasan global.


Air adalah salah satu elemen bumi yang paling dinamis. Ia tidak punya alamat tetap, terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan gampang berubah fase mengikuti siklus kehidupan bumi. Suatu kali ia menjadi uap, terbang bersama angin, tumbuh menjadi awan, dan jatuh sebagai hujan --mungkin saja di sebuah lokasi yang ribuan kilometer jauhnya dari tempat persinggahan sebelumnya.

Di saat yang lain, ia tersimpan sebagai air tanah, terserap akar, naik ke daun, dan atas jasa baik cahaya matahari, bantuan klorofil, dan pelbagai enzim daun, ia pun tersintesis menjadi biomassa yang mengandung energi. Tiba saatnya biomassa dikonsumsi oleh makhluk herbivora, termasuk manusia, dimetabolismekan, diambil energinya, dan ia pun terurai kembali menjadi CO2 dan air. Selanjutnya, air menjalani kembali siklus abadinya.

Betapapun dinamisnya, ia tidak tersedia di semua tempat dalam takaran yang sama. Ada tempat yang surplus kelimpahan air, dan banyak tempat lainnya yang selalu defisit neracanya. Maka, air menjadi faktor pembatas daya dukung ekologis yang bisa memicu masalah sosial, politik, dan ekonomi --utamanya saat ia berstatus air tanah, air danau, dan air sungai yang secara langsung menopang kehidupan umat manusia. Nilai ekonomi pun direkatkan atas zat fluida ini.

Eksploitasi atas sumber daya air pun menjadi-jadi, dan siklus air terusik harmoninya. Tapi, siapa peduli.

Dalam usia bumi yang telah mencapai enam milyar tahun ini, ketika penduduk bumi hampir mencapai enam milyar jiwa, tekanan berat menimpa pada sumber air tawar, baik itu danau, sungai, maupun sumber-sumber air tanah lainnya. Sumber air yang langka itu pun rusak karena dianggap sebagai pelarut limbah, juga sarana transportasi segala barang buangan, untuk dikirim ke laut. Ketika sungai-sungai tercemar, air tanah pun menjadi rebutan.

Ia lalu menjadi komoditas berharga. Ia dianggap relatif bebas dari bahan pencemar, karena berasal dari hujan yang merembes masuk ke tanah, dan butir-butir tanah bisa mengikat sebagian besar bahan pencemar. Lantas, kalau kemudian ia dianggap amat berharga, sebetulnya bukan karena bersih, melainkan karena murah. Sebetulnya, air sekotor apa pun oleh teknologi bisa dibuat bersih, tapi itu perlu biaya. Jadi, buat apa susah menyucikan air berlimbah kalau air tanah mudah dieksploitasi.

Air adalah sumber kehidupan bagi segala jenis makhluk hidup, termasuk manusia. Ia tak hanya diperlukan dalam proses metabolisme pada tingkat organisme, bahkan di tingkat inti sel. Dalam peradaban maju, kebutuhan tubuh manusia atas air itu tak lagi dipenuhi semata dari air bumi. Dunia industri telah menambahkan pelbagai macam substansi agar air bisa memberikan kenikmatan rasa dan daya gunanya bagi tubuh.

Kini dunia industri makin menempatkan air sebagai bahan baku untuk komoditas yang kian canggih. Ada proses industri yang membuat enam molekul air murni bergandengan membentuk bangun heksagonal. Konon, dalam format ini, air jadi lebih mudah menembus membran hingga cepat masuk ke sel yang merupakan unit terkecil dalam sistem jaringan. Manfaatnya, konon proses fisiologi di dalam sel lebih dinamis. Tubuh manusia lebih sehat berkat konsumsi air canggih ini --katanya.

Para era sebelumnya, air pun dibubuhi pelbagai konsentrat yang dianggap diperlukan oleh tubuh. Di sinilah industri langsung mengincar sumber air alam. Dunia industri tentu akan menikmati nilai tambah sangat menarik untuk air alam ini. Atas nama pajak, kesempatan kerja, pendapatan asli daerah, APBN, atau apa pun, sumber air pun jatuh ke tangan industri.

Air lantas menjadi barang dagangan semata. Air tak lagi menjadi sumber kehidupan bagi unsur-unsur ekologi di sekeliling, termasuk manusia. Siklus air berubah. Pada saat itulah, guncangan ekosistem bisa muncul. Termasuk gesekan sosial. Sesungguhnya, siklus alamiah air memberi kebajikan sendiri.

Putut Trihusodo
[Lensa, Gatra Edisi 25 Beredar Senin, 1 Mei 2006]

[+/-] Baca Selengkapnya...