Putut Trihusodo
SEBAGAI bahan mineral, uranium bisa ditemukan di banyak tempat, di kelima benua. Namun hanya Australia yang diakui sebagai lumbung uranium dunia, karena 40% depositnya dipercaya ada di ''negeri kanguru'' itu. Selebihnya ada di Kanada, Cina, Kazakstan, Uzbekistan, atau negeri-negeri Afrika: Namibia, Nigeria, dan Mali.
Bukan hal aneh bila mineral yang sama ditemukan di banyak tempat. Bukankah seluruh batuan bumi ini berasal dari materi yang sama, yakni serpihan ''Big Bang''. Pakar mineral dapat mengendus kehadiran uranium cukup dengan melihat batuan, apakah dia uranitite, carnotite, lignite, monazite, atau yang sejenisnya. Maka, bukan hal aneh pula bila uranium ditemukan di tanah Kalimantan, Papua, hulu Amazon, atau di daerah perbukitan Iran Tengah.
Keberadaan mineral uranium (U) take serta-merta dapat mendatangkan laba. Apalagi, ia bisa hadir dalam bentuk tiga isotop, U-234, U-235, dan U-238. Semuanya bersifat radioaktif, tapi hanya U-235 yang bisa menjalani reaksi pembelahan (fisi), hal terpenting untuk keperluan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ataupun bom atom! Makin tinggi konsentrasinya, makin ekonomis harganya.
Secara umum, batuan beruranium itu mengandung ketiga isotop tadi, dengan komposisi bervariasi. Porsi U-235 pada batuan alam biasanya cuma 0,7%. Untuk jadi elemen bakar PLTN, diperlukan pengayaan U-235 hingga 3%, dan di atas 80% untuk bom.
Amerika Serikat adalah negara yang paling maju memanfaatkan nuklir, untuk maksud damai atau perang. Sejarah pun mencatat, debut momumentalnya adalah bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, Agustus 1945. Setelah itu, sembari terus membiakkan bom atomnya, Amerika memulai penggunaan nuklir sebagai sumber energi dan alat diagnonis.
Selama Perang Dingin, Amerika dan sekutunya pun terus mempersenjatai diri dengan rudal berkepala nuklir. Tapi, untuk mereka yang tak terkait langsung dengan Perang Dingin, Gedung Putih menggiring ke perjanjian antiproliferasi (penyebaran) nuklir. Iran dan Indonesia ada di dalamnya. Amerika memegang kontrol lebih kuat atas konvensi ini.
Maka, kini Gedung Putih pun resek saat mendengar bahwa Iran ingin mengembangkan diri menjadi negeri nuklir. Dengan bantuan Rusia, Iran mencoba memanfaatkan uranium miliknya untuk reaktor PLTN. Segera, International Atomic Energy Agency (IAEA), sebuah lembaga PBB, diturunkan untuk memantau. Hasilnya, IAEA menyimpulkan, Iran berpotensi membuat bom nuklir karena kemampuan teknik pengayaan uraniumnya.
Tingkah Amerika makin menjadi. Ia menekan Iran agar menghentikan proyek pengayaan uraniumnya. Kalau tidak, ada akibatnya: bisa embargo ekonomi, bisa juga tindakan militer. Toh, Iran tak gentar. Ia merasa hanya memanfaatkan nuklir untuk energi. Lagi pula, mengapa harus memenuhi kemauan Amerika? Kalaupun mau bikin bom, mengapa harus dilarang, sementara Amerika sendiri kolektor terbesarnya?
Memang tidak bisa dimungkiri bahwa tak ada garis batas yang tegas antara teknologi nuklir damai dan nuklir perang. Tahapannya jelas, batuan uranium diolah menjadi adonan kuning yellow cake, substansi dengan kandungan U lebih besar. Yellow cake lalu diubah menjadi gas "U-heksaflorida", kemudian masuk proses sentrifugasi untuk menghasilkan substansi dengan konsentrasi U-235 untuk elemen bakar PLTN, atau kadar di atas 80% untuk bom atom.
Salah satu produk samping PLTN adalah isotop U-238, yang hanya dengan tembakan netron bisa jadi plutonium-239. Ini bahan baku bom atom yang lebih dahsyat. Secara teknis, memang, tujuan nuklir damai dan perang itu sangat tipis. Semuanya terpulang pada niat.
Dalam sejarahnya, Amerika pernah memanfaatkan PLTN-nya jadi pabrik bom atom. Pada 1954, Kongres Amerika mengamandemen Atomic Energy Act. PLTN swasta menerima U-235 dari negara, tapi produk plutoniumnya harus diserahkan ke pemerintah untuk bom nuklir. Keputusan itu dihapus di kemudian hari. Namun, tahun 1981, Presiden Ronald Reagan mengirim proposal ke Kongres untuk memanfaatkan PLTN swasta sebagai pabrik plutonium. Proposal itu mentok di Kongres.
Tak mengherankan kalau kini Gedung Putih menanggapi secara paranoid PLTN Iran, negeri yang tak pernah tunduk pada kehendaknya. Boleh jadi, Pemerintah Amerika Serikat bercermin pada dirinya bahwa semua orang punya rencana jahat, seperti yang selalu disiapkan oleh ahli-ahlinya di Left Wing Gedung Putih.
Gatra, 15 Mei 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar