Pelajaran dari Dili

Kamis, 29 Juni 2006
Setelah melalui pergulatan alot yang diwarnai insiden berdarah, akhirnya Perdana Menteri (PM) Mari Alkatiri mundur dari jabatannya. Tekanan dari lawan-politiknya, yang membawa nuansa kepentingan Australia, tidak membuat dia keder. Namun, saat ia melihat gelagat serius bahwa Presiden Xanana Gusmao akan angkat kaki dari panggung kepemimpinan nasional, Alkatiri pun mengalah. Ia siap turun dari mimbar kekuasaan.

Suasana panas di bumi Loro Sae, Matahari Terbit, sebutan bagi Timor Timur dalam bahasa Tetun, tampaknya akan mereda. Kompromosi politik telah mendapatkan jalan masuk. Pihak oposisi selama ini memang mamatok syarat bagi penyelesaian kemelut politik itu, yakni Mari Alkatiri lengser. Perkembangan terbaru dari kota Dili itu tentu membuat banyak pihak lega. Konflik yang bisa memantik aksi kekerasan lebih jauh itu bisa dihindari.


Barisan oposisi, terutama dari faksi Jose Ramos Horta, tentu juga senang. Selama ini, mereka merasa bahwa Alkatiri membawa negeri seluas 15.000 kilometer persegi itu ke arah kiri, hal yang mereka anggap tidak realistis. Mari Alkatiri menentang nilai-nilai pasar yang terlalu bebas. Ia memicingkan mata curiga terhadap arus globalisasi.

Sebagai tetangga yang membantunya lepas dari "pendudukan" Indonesia, Australia tak suka Timor Leste dibawa ke kiri. Australia harus memastikan negeri sekepal yang dianggap sebagai serambi belakangnya itu mempraktekkan haluan politik yang menolak liberalisasi. PM John Howard tahu betul, Timor Leste bisa "diluruskan" hanya jika Alkatiri lengser. Maka, dilakukanlah tekanan, termasuk mengirim militernya dengan dalih memulihkan ketertiban di negeri itu.

Kepentingan Australia tak cuma soal geopolitik. Ada juga soal fulus. Australia tak mau Mari Alkatiri mengacak-acak perjanjian bilateral kedua negara tentang minyak di Timor Gap yang memberi porsi bagi hasil 80:20. Pemerintahan Alkatiri mematok agenda mengubah perjanjian itu dengan membuat perjanjian baru berdasar Konvensi Hukum Laut. Kalau langkah itu ditempuh, jelas porsi bagi hasil akan terbalik.

Posisi Alkatiri kian terpepet karena ia tak bisa mencari dukungan dari tetangga lain, Indonesia misalnya. Selama memimpin Timor Leste sejak enam tahun lalu, ia tidak cukup ramah pada Jakarta. Garisnya berbeda dari Xanana. Alkatiri terus curiga, seraya memainkan "kartu HAM", untuk mengintimidasi Indonesia. Alkatiri seperti memungkiri kenyataan bahwa Indonesia adalah pemasok segala kebutuhan rakyatnya.

Posisi Alkatiri makin lemah karena pihak gereja, lembaga yang selama 23 tahun pemerintahan Indonesia memainkan peran politik yang penting, tidak menyukainya. Pemerintahan Mari Alkatiri dianggap terlalu sekuler, kiri, tak menghargai demokrasi, dan akan menjadikan Timor Leste negeri sosialis yang otoriter.

Dukungan kuat hanya dari Fretilin, partai yang dipimpinnya, yang kini menguasai 55 dari 88 kursi parlemen. Tapi dukungan dari elite partai tak cukup. Karena di tingkat akar rumput Fretilin, pengaruh Xanana besar. Apalagi, Presiden Xanana adalah bapak bangsa, pemersatu rakyat Timor Leste. Bisa saja ia nekat bertahan. Namun Mari Alkatiri cukup punya sikap kenegarawanan. Ia tidak sudi negerinya dilanda konflik berkepanjangan.

Ke mana kompromi akan dibawa? Di situ Xanana dan Alkatiri akan berembuk. Kredo the winner takes all mungkin tak akan ditempuh. Maka, pilihan pengganti Alakatiri tak akan ke figur Jose Ramos Horta. Boleh jadi, sosok Jose Luis Gutteres, yang kini menjabat sebagai Duta Besar Timor Leste di PBB, menjadi figur kompromi. Gutteres tak terlibat konflik. Ia bisa mengapresiasi kecurigaan Alkatiri terhadap nilai-nilai liberalisme dan globalisasi. Namun ia cukup pragmatis untuk bekerja sama dengan tokoh flamboyan semacam Ramos Horta.

Di balik kemelut itu, ada hal menarik di Dili. Kekuasan politik tidak membuat pemimpin negeri itu tersandera seperti penunggang harimau --kalau turun, bakal dicabik-cabik oleh "makhluk" ganas itu. Situasi ini hadir kalau kekuasaan tidak membuahkan penindasan, korupsi, dan nepotisme. Maka, kompromi di Dili tak sulit berlanjut dengan rekonsiliasi dan konsolidasi.

Di mana posisi Indonesia? Barangkali kini tiba saatnya ada panggilan sejarah untuk membela dan menjaganya, agar negeri baru itu tak jatuh dalam cengkeraman kolonialisme baru.

Putut Trihusodo
[Lensa, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 29 Juni 2006]

0 komentar:

Posting Komentar