Singapura adalah tetangga yang kaya raya. Negeri sekepal ini sanggup memberikan kemakmuran bagi 4,3 juta penduduknya dengan standar Eropa Barat. Pendapatan per kapita penduduk Singapura saat ini US$ 28.000. Jauh berlipat melampaui tetangga terdekatnya, Indonesia.
Uang melimpah ruah di Singapura, baik itu milik negara, swasta, maupun tabungan rakyatnya. Belum lagi uang-uang titipan yang datang dari pelbagai penjuru dunia (termasuk duit yang kabur dari Indonesia) yang kini berada di tangan para fund manager yang mengoperasikan pelbagai lembaga keuangan. Singapura adalah sumber modal.
Sukses itu diraih lewat kerja keras selama empat dekade. Di bawah pemerintahan yang efektif, bersih, dan hukum yang tegak, kerja keras itu segera memberi hasil nyata. Negeri sekepal itu pun tumbuh cepat, bahkan secara fisik luas daratannya terus bertambah dari 490 kilometer persegi 30 tahun lalu menjadi 660 kilometer persegi saat ini, dengan proyek reklamasinya.
Dari Singapura, uang mengalir ke mana-mana dalam beragam bentuk investasi. Negara-negara yang relatif baru menggeliat bangkit seperti Kamboja dan Vietnam turut kebanjiran uang ''negeri singa'' itu. Ironisnya, tidak banyak yang masuk Indonesia.
Namun para pemimpin Singapura agaknya sadar, mana mungkinlah mereka bisa tidur nyenyak bila tetangga di depan pintu rumah hidup serba kesulitan. Memang tidak berarti mereka harus peduli pada kondisi Indonesia secara keseluruhan. Tapi setidaknya, daerah terdekatnya bisa didorong lebih makmur sehingga menjadi penyangga bagi "pengaruh buruk" negeri tetangga.
Boleh jadi, itu suatu hal yang mendorong Singapura tertarik dengan proposal SEZ (special economic zone). Dalam bentuk nota kesepakatan (MoU), gagasan SEZ itu diteken Pemerintah Indonesia dan Singapura pada akhir Juni lalu. Intinya ialah kehendak untuk mengembangkan daerah Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) menjadi satu kawasan industri maju.
Pertimbangan politik adalah satu hal. Namun ada hal lain, yakni daya tarik alam BBK itu sendiri. Sebagaimana Singapura, Pulau Batam, Bintan, dan Karimun yang berada di jalur urat nadi perdagangan dunia "Selat Malaka" adalah tempat-tempat yang sangat berharga secara ekonomi. Apalagi, dalam pandangan orang Singapura, tiga pulau itu ibarat hinterland, daerah pedalaman, mereka. Apa salahnya turut mengurus wilayah pedalaman?
Namun kita tahu, membangun SEZ bukan hal sederhana. Tak cukup selembar MoU. Di sana perlu kelengkapan infrastruktur dan terutama perangkat aturan main yang jelas --syukur ditambah insentif yang menarik investor. Justru dalam masalah perangkat aturan ini kita sering kedodoran.
Kita punya pengalaman dengan Batam. Di awal 1990-an, kita sempat punya harapan besar atas Batam. Pulau seluas 612 kilometer persegi itu pernah berjaya di tahun 1990-an, tapi kini pamornya sebagai pulau industri meredup. Banyak pemilik industri di Batam yang angkat kaki, memindahkan pabriknya ke Cina atau Vietnam.
Padahal, Batam sempat tumbuh pesat. Di awal 1970-an, pulau yang ukurannya tidak terpaut jauh dari Singapura itu hanya dihuni 3.000-an orang. Tiga puluh tahun kemudian, penghuninya hampir 700.000 jiwa. Pada tahun 2000, sebelum kinerjanya anjlok, Batam memberi tempat bagi 140.000 tenaga kerja sektor formal. Ratusan industri di sana juga menciptakan 8.000 unit usaha kecil dan menengah.
Batam sempat gebyar-gebyar. Investasi swasta asing dan nasional pernah mencapai US$ 6,1 milyar (2000). Nilai ekspornya US$ 6,7 milyar tahun itu. Setoran pajak ke pemerintah pusat sekitar Rp 900 milyar. Namun kesimpangsiuran aturan main membuat gemebyar industri Batam meredup, meski belum padam sepenuhnya.
Kita tahu, adanya tumpang tindih kewenangan antara Badan Otorita dan Pemerintah Kota Batam, yang lahir dari rahim otonomi daerah, menjadi satu masalah. Ketidakjelasan Batam sebagai bonded zone atau free trade zone adalah persoalan lainnya. Puncaknya ialah ketika pemerintah memberlakukan pajak pertambahan nilai dan pajak barang mewah di luar enam bonded zone yang ada.
Memang tak seluruh masalah dari kita. Pengenaan pajak itu, misalnya, adalah buah "intimidasi" Dana Moneter Internasional (IMF). Toh, muaranya satu: tidak ada konsistensi aturan. Pengalaman di Batam hendaknya memberi pelajaran bahwa SEZ harus dirancang dengan perencanaan yang matang agar aturan main tak mengalami bongkar pasang.
Putut Trihusodo
[Lensa, Gatra Nomor 35 Beredar Kamis, 13 Juli 2006]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar