Predator Pemangsa Hutan

Kamis, 31 Agustus 2006

Hukum rimba yang secara harfiah kita anggap kejam dan tak beradab sesungguhnya menyimpan kebijakan tersendiri. Naluri primitif seekor singa memang buas, tapi dia bukan tipe rakus. Singa memangsa pelanduk atau kijang hanya untuk bertahan hidup dan sampai sebatas kenyang.

Di tengah belantara hutan, yang ada hanya hukum rimba. Siapa yang perkasa, dialah sang pemenang. Tidak ada yang bisa melindungi si pelanduk lucu dari keberingasan harimau sang raja rimba. Nun di tengah padang savana di jantung Afrika sana, tak ada yang bisa menolong seekor kijang dari kawanan singa yang selalu lapar.


Hukum rimba, dalam versi cerita tutur tempo dulu, itu ialah tatanan yang tidak adil. Hewan-hewan bertaring yang ganas selalu saja memangsa satwa-satwa lembut yang imut. Maka, hukum rimba harus dijungkirbalikkan. Tidak ada alasan untuk berpihak pada kawanan singa, harimau, cheetah, serigala, hyena, buaya, atau ular sanca.

Cerita tutur itu barangkali dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa sayang pada satwa. Mungkin juga untuk merangsang kepekaan agar membela yang lemah. Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi, dongeng itu tidak utuh memberi gambaran mengenai hutan sebagai ekosistem dengan hukum-hukumnya sendiri.

Singa, harimau, cheetah, hyena, dan karnivora lain adalah kelompok predator, kasta tertinggi dalam urutan rantai makanan. Mangsa mereka adalah kelompok herbivora. Di situlah terjadi aliran energi secara permanen. Rumput dan pepohonan menyintesis karbohidrat (gula) melalui reaksi fotosintesis. Metabolisme lebih jauh pun membuat tumbuhan memproduksi lemak, protein, dan vitamin.

Dengan mengonsumsi hasil tumbuhan (daun, pucuk ranting, atau buah), herbivora mendapatkan energi. Dengan memangsa herbivora, predator punya tenaga. Tapi ada aturan di kalangan mamalia pemangsa. Sesama predator dilarang saling memangsa. Kalaupun terjadi the war of predators, yang kadang menelan korban, itu umumnya hanya menyangkut perebutan teritori. Jadi, di hutan ada pula keteraturan.

Hukum rimba yang secara harfiah kita anggap kejam dan tak beradab sesungguhnya menyimpan kebijakan tersendiri. Naluri primitif seekor singa memang buas, tapi dia bukan tipe rakus. Singa memangsa pelanduk atau kijang hanya untuk bertahan hidup dan sampai sebatas kenyang. Ia bukan membunuh kijang untuk kesenangan, apalagi memperlakukannya sebagai kekayaan. Singa suka makan sampai kenyang, setelah itu tidur atau bermalas-malasan. Tak peduli esok pagi masih ada rezeki atau tidak. Ia bisa tidur 20 jam sehari.

Populasi hewan buas ini juga tak akan meledak. Hukum rimba terus mengontrolnya. Perlu perjuangan berat bagi singa atau harimau untuk menangkap setiap buruannya. Tak pernah tersedia makanan melimpah ruah. Di sana, di tengah rimba, ada harmoni untuk menjaga keseimbangan alam.

Hutan rimba tempat harimau bersarang juga memiliki tingkat keteraturan amat ristmis. Hutan perawan tidak tercipta begitu saja. Ia berkembang melalui tahap-tahap suksesi. Dari lumut berganti rerumputan, lalu semak, kemudian pohon-pohon tinggi hadir dan menjadi tegakan yang dominan. Tumbuhan rambat dan semak, yang telah terseleksi dari jenis yang tak memerlukan cahaya matahari langsung, ada di bagian bawah. Mahkota rimbanya terdiri dari tajuk pepohonan tinggi, yang memiliki bakat untuk tumbuh menjulang disangga batang pohon yang lurus dan kokoh.

Pepohonan, jamur, dan semak terus tumbuh dan berganti. Tapi, dalam rimba hutan perawan di daerah hujan tropis seperti di Indonesia, aturan main tetap terjaga. Dari waktu ke waktu formasi tak berubah. Bisa jadi selama ratusan atau ribuan tahun. Sesekali terjadi kebakaran bila muncul fenomena ekstrem. Maka, hutan pun menjadi penyangga ekosistem, termasuk di dalamnya tata air yang menentukan hidup-matinya danau dan sungai-sungai.

Sejarah ekologi hutan tropis basah kita menunjukkan bahwa kebakaran hutan adalah hal yang sangat jarang terjadi. Studi Goldammer dan Siebert (1999) terhadap radiocarbon dates atas sisa batu bara yang terbakar (akibat gejala alamiah) di Kalimantan Timur menunjukkan, rentang waktu antara dua kebakaran itu bisa lebih dari 2.000 tahun.

Kini hampir tiap tahun kita mendengar musibah kebakaran. Agaknya, jelas ini akibat ulah manusia --lepas dari siapa pun dia, peladang berpindah, pengusaha perkebunan, atau pelaku illegal logging yang ingin menghilangkan jejak. Dua kelompok terakhir ini yang bisa menimbulkan dampak dalam skala luas. Mereka tidak menghargai lagi kebajikan yang terkandung dalam hukum rimba.

Bagi mereka, mungkin hutan hanya dianggap sebagai tempat bersarang hewan buas, predator. Atau barangkali mereka juga tidak pernah kenyang menyantap kayu-kayu hutan. Mereka pun tak peduli hutan hancur dan berubah jadi padang ilalang. Padahal, ilalang itu simbol kebangkrutan hutan.

Barangkali, yang tega melakukan perusakan itu mamalia jenis baru, yang tergolong predator dari segala predator.

Putut Trihusodo
[Lensa, Gatra Nomor 42 Beredar Kamis, 31 Agustus 2006]

[+/-] Baca Selengkapnya...

Tonil di Layar Perak

Minggu, 06 Agustus 2006

Putut Trihusodo

Night Shyamalan telah meninggalkan hantu yang membesarkannya. Ia seperti asyik dengan dirinya. Kualitas film sebagai tontonan massal merosot.

LADY IN THE WATER
Sutradara: M. Night Shyamalan
Skenario: M. Night Shyamalan
Pemain: Paul Giamatti, Bryce Dallas Howard, Jeffrey Wright, Bob Balaban, Sarita Choudhury, Cindy Cheung, M. Night Shyamalan

Produksi: Warner Bros Pictures (2006)
Durasi: 110 menit

Kolam renang berkecipak riuh pada sebuah malam, dan sesosok perempuan muncul di permukaan air. Hanya sekejap lalu menghilang. Peristiwa itu dipergoki Cleveland Heep, pengawas di Apartemen Cove, tempat kejadian perkara. Heep, yang dimainkan secara menawan oleh aktor Paul Giamatti, pun nyebur ke swimming pool mengubernya.

Tapi sosok yang dicari seperti lenyap ditelan bumi. Heep terus menyelam sampai kepayahan, lalu cut... adegan pindah ke ruang apartemen Heep yang sumpek. Sang pengawas terbangun di tempat tidurnya dan kaget. Perempuan muda yang dicarinya sudah ada di sofanya. Perkenalan unik pun terjadi. ''Nama saya Story,'' kata gadis misterius itu. Dari sana, cerita Lady in the Water, film terbaru garapan sutradara berbakat M. Night Shyamalan, 36 tahun, bergulir.

Story mengaku dirinya peri. Meski tidak percaya, Heep tetap berlaku ramah. Ia mendesak Story pergi, bahkan menggendongnya keluar. Namun, sampai di halaman, ia melihat sosok seram. Ada hewan buas, mirip serigala, siap menyerang. Heep pun mundur sambil menggendong Story ke apartemennya. Peri itu dimainkan oleh Bryce Dallas Howard, artis yang menjadi pemeran utama dalam film Shyamalan sebelumnya, Village (2004).

Heep menceritakan keanehan itu ke para penyewa Cova, termasuk Vick, pemeran pembantu yang dimainkan Shyamalan sendiri. Seorang penghuni akhirnya bercerita bahwa kisah peri misterius itu pernah didengar dari penuturan ibunya. Sang peri itu terancam dibunuh oleh serigala jahat yang bersembunyi dalam kegelapan. Gara-gara ancaman maut itu, sang peri harus sembunyi dalam gua air bawah lantai kolam renang. Persoalannya, Story tidak punya waktu panjang lagi. Ia harus kembali ke langit, dijemput seekor garuda.

Kembalinya Story ke langit akan membawa kebaikan bagi dunia. Tapi, bagaimana ia bisa diselamatkan dari ancaman si iblis. Di situ para penghuni Cova bekerja sama dengan tulus untuk mengawalnya.

Meski film ini masuk genre mistery thriller, penonton jangan berharap memperoleh suguhan sensasi ketegangan. Shyamalan meninggalkan sosok hantu yang pernah membesarkannya lewat film Sixth Sense (1999). Ia juga tidak mau mengajak penonton pusing serius menelusuri misteri science fiction-nya seperti dalam film Signs (2002). Jejak suasana misteri yang magis dalam Village juga tak terlihat dalam Lady in the Water.

Shyamalan meraih sukses pertamanya melalui Sixth Sense dengan memboyong bintang tenar Bruce Willis, yang kemudian ia ajak lagi dalam Unbreakable (2000). Ketika menyutradarai film horor ini, ia masih 28 tahun. Hasilnya, Sixth Sense meraih enam nominasi Oscar, antara lain untuk penyutradaraan, orisinalitas cerita, serta gambar. Secara bisnis untung besar karena mendatangkan pemasukan hampir US$ 300 juta. Dalam Sixth Sense, Shyamalan secara berani menjungkirbalikkan garis batas antara dunia nyata dan dunia roh.

Rupanya, ia tak benar-benar tertarik pada dunia roh. Dalam dua film berikutnya, ia mengombinasikan fiksi ilmiah dan kepercayaan supernatural. Cukup cespleng. Ia membangun suspens tanpa harus mengeksploitasi darah dan kekerasan. Kekuatannya bertumpu pada kejutan-kejutan kecil di sepanjang film. Secara bisnis, keduanya juga bagus. Lantas ia kembali masuk nominee Oscar untuk musik pada Village.

Dalam Lady in the Water, Shyamalan bereksperimen lagi dengan mengangkat cerita yang ia biasa bawakan sebagai pengantar tidur putranya. Ia menggarap film ini tanpa pretensi membuatnya menjadi seram. Ia sedang seperti menyutradarai teater atau tonil. Blocking pemain diperhatikannya betul untuk menghasilkan komposisi gambar yang matang. Di sana-sini muncul adegan teatrikal. Kadang jenaka. Bahkan serigala iblisnya pun dibikinnya hampir lucu. Orisinalitasnya terjaga.

Namun eksperimennya itu membuat film terbarunya ini kurang asyik sebagai tontonan. Hasil pemutaran di minggu pertamanya pas-pasan saja. Shyamalan tampak terlalu asyik dengan dirinya. Jangan-jangan, pria kelahiran India yang tumbuh di Pennsylvania itu sedang bereksperimen menjadi aktor, peran yang justru bukan sisi kekuatannya.

Gatra, 21 Agustus 2006



[+/-] Baca Selengkapnya...