oleh Putut Trihusodo
Pahlawan tidak harus lelaki macho yang menyandang senapan. Tragedi kemanusiaan Rwanda 1994 memilih pahlawannya sendiri, seorang manajer hotel.
------------------------------
HOTEL RWANDA
Pemain: Don Cheadle, Sophie Okonedo, Nick Nolte, Joaquin Phoenix
Sutradara: Terry George
Produser: Terry George dan A. Kitman Ho
Distributor: United Artists
------------------------------
SETETES kebencian saja bisa mengundang kekerasan. Apalagi kalau ia dibumbui sentimen ras, ditaburi muatan politik dan ekonomi, lalu dimobilisasi. Kebencian akan berubah menjadi gelombang bencana, seperti dikisahkan sutradara Terry George dalam film Hotel Rwanda yang kini diputar di Jakarta.
Film berdurasi 110 menit ini mengambil latar di Rwanda pada 1994, ketika negeri di jantung Afrika itu tiba-tiba menjadi ajang pembantaian etnis. Mayoritas suku Hutu (75% dari populasi) memburu orang-orang Tutsi, minoritas (20%) tapi dominan secara ekonomi dan sosial. Terjadilah aksi pemusnahan etnis yang keji. Korbannya mencapai 800.000 jiwa, hampir 10% penduduk negeri itu. Sebagian dari mereka orang Hutu sendiri yang dianggap berdosa karena menolak terlibat dalam kekejaman itu.
Di tengah aksi kepiluan itu, tampillah Paul Rusesabagina (diperankan Don Cheadle dan mendapat nominasi Golden Globe) sebagai pahlawan. Ia laki-laki biasa, manajer hotel yang tak bersenjata. Meski dengan mempertaruhkan lehernya, Paul bisa menyelamatkan jiwa 1.286 orang yang mengungsi di hotelnya. Kisah nyata Paul inilah yang kemudian diangkat dalam film Hotel Rwanda.
Sutradara Terry George banyak menghabiskan pita film untuk merekam adegan-adegan di Hotel Mille Collines di Kigali, ibu kota Rwanda, untuk filmnya. Di sana tampak Paul cool tetap saja bekerja, meski tensi kerusuhan terus meningkat. Ia merasa harus mempertahankan hotel itu, ketika bosnya yang orang Belgia kabur dari negeri yang sedang bergejolak itu.
Saat itu, Rwanda memang ditelantarkan oleh jagat internasional. Pasukan penjaga perdamaian cuma segelintir. Serdadu Barat cuma datang untuk mengevakuasi orang-orang asing. Mereka bahkan tak sudi membawa serta anak-anak kecil yang terancam pembantaian itu.
Di saat genting itulah, Paul Rusesabagina yang culun justru mempertahankan mati-matian nyawa manusia. Ia rela menguras kantongnya, puluhan ribu franc, untuk ditukar dengan rakyat. Tak peduli ia Tutsi atau Hutu. Hotelnya segera menjadi kamp pengungsi. Berkali-kali ''Mille'' nyaris diserbu karena dianggap sebagai ''sarang kecoa''. Secara sinis, orang Hutu menyebut suku Tutsi kecoa karena menjadi kaki tangan kolonialis Belgia (sampai 1959) untuk menguasai tanah milik bangsa Hutu.
Luka sejarah itu ikut mewarnai latar belakang politik pertikaian etnis di Rwanda yang melahirkan tragedi kemanusiaan 1994 itu. Ketika itu, aparat berbaju loreng, yang notabene adalah penjaga keamanan bagi tanah airnya, tak bisa diharapkan lagi. Mereka buas. Lagaknya sebagai jagoan cuma bisa dihentikan dengan sogokan bir, wiski, dan uang. Paul yang lebih waraslah yang mendesak manajemen hotelnya di Belgia berunding dengan pihak Prancis yang mendukung kelompok Hutu.
Apa pun yang terjadi, Paul berupaya tetap kokoh. Toh, sebagai manusia, jiwanya bobol juga ketika di suatu pagi, dalam perjalan pulang membeli logistik hotel, tiba-tiba minibusnya terguncang-guncang. Ketika ia turun, di tengah keremangan kabut pagi Kigali, ia melihat pengganjal ban mobilnya bukanlah serakan batu atau balok kayu, melainkan hamparan mayat.
Terry George yang juga ikut menulis skenarionya menggambarkan kesedihan itu dengan amat menyentuh, sebagaimana ia melukiskan cinta kasih Paul terhadap keluarganya dalam adegan dan percakapan di atas loteng hotel. Ia mempersiapkan istrinya, dan terlebih diri sendiri, untuk menghadapi kegilaan situasi.
Don Cheadle yang rapi membawakan karakter Paul Rusesabagina memberi banyak sumbangan bagi pencapaian film ini. Bintangnya memang makin mencorong setelah ia mendapat pujian dalam dua film sebelumnya, After The Sunset dan Ocean's Twelve. Perannya mendapat imbangan yang sesuai dari Sophie Okonedo yang memerankan Tatia, perempuan Tutsi yang diperistri Paul.
Dari sisi penyajian, Hotel Rwanda mengalir dalam tempo lambat. Diselingi gambar-gambar yang mirip rekaman dokumentasi yang kadang terasa begitu kuat. Tapi selebihnya datar dan kronologis. Boleh jadi, itu gaya Terry George seperti saat ia menggarap Some Mother's Son, 1996, film tentang pergolakan Irlandia Utara. Ia seperti terobsesi oleh trauma sejarah.
Dalam Hotel Rwanda, Terry George juga keasyikan dengan plot cerita sehingga tak banyak mengeksplorasi eksotisme alam dataran tinggi Rwanda untuk memanjakan mata. Hanya sajian musiknya yang asyik membantu penonton memasuki ''perjalanan'' ke Afrika.
GATRA, 28 Februari 2005
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar