Putut Trihusodo
Aksi terorisme agama ternyata tak segencar teror separatisme atau komunisme. Tidak ada konspirasi dalam penanganan kasus bom Bali. Polri bekerja berdasarkan forensik.
RESENSI
TERORISME, MITOS DAN KONSPIRASI
Penulis: Budi Gunawan
Penerbit: Forum Media Utama, Juni 2006, 334 halaman
Sepanjang tahun 2000 hingga 2005, tak kurang dari 20 kali teror bom terjadi di wilayah hukum Indonesia. Korban jiwa secara langsung 287 orang dan ratusan lainnya mengalami cedera. Kehadiran terorisme di Indonesia benar-benar nyata dan ancamannya belum berakhir. Noor Din Mohd. Top masih gentayangan dan terus menyelinap lolos dari kejaran polisi.
Kelompok Noor Din Mohd. Top ini, dalam catatan versi Departemen Pertahanan Amerika Serikat, hanya satu dari 43 kawanan teroris yang beroperasi di Asia Tenggara dan Oseania. Ia juga hanya satu dari 967 kelompok teroris di dunia. Sarang teroris terbesar ternyata di Eropa Barat (267), kemudian Timur Tengah (192), Asia Selatan (131), dan Amerika Latin-Karibia (110).
Dalam bab pertama dan kedua, Budi Gunawan mencoba menggali sejarah ringkas batasan tindakan terorisme itu. Secara klasik, teror sering didefinisikan sebagai aksi keji untuk menimbulkan rasa takut luar biasa untuk memaksakan kehendak. Bila ini yang menjadi acuannya, maka teror negara termasuk di dalamnya. Maka, terorisnya, ya, mulai Stalin, Lenin, Hitler, hingga Mao. Mengutip tulisan Noam Chomsky, penulis menyatakan pula bahwa Amerika Serikat menjalankan terorisme atas negara-negara lemah.
Budi Gunawan mengakui, sejauh ini belum tersedia jawaban memuaskan atas pertanyaan apa dan siapa terorisme itu (halaman 26). Maka, dalam bab-bab lanjutannya, sebagai polisi, Budi memilih mengacu pada dokumen dan produk hukum positif yang ada, baik secara domestik maupun internasional --semisal Statuta Roma. Nah, dari sini kemudian terorisme itu menunjuk pada kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan terhadap penduduk awam untuk memaksakan gagasan.
Mereka bangkit dari pelbagai kelompok ide. Ada teroris antiglobalisasi, teroris pro-komunis, teroris perjuangan lingkungan hidup, agama, ras, separatis, dan seterusnya. Dalam sejarahnya, kelompok teroris agama itu bukan yang dominan. Teroris agama (termasuk Al-Qaeda dan Tentara Republik Irlandia) "cuma" melakukan 1.925 kali kekerasan. Angka ini jauh di bawah aksi teroris separatis (3.966) dan teroris komunis (3.179).
Sebelum masuk membahas terorisme Indonesia lebih jauh, Budi --brigadir jenderal polisi yang produktif menulis dan kini menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier pada Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri-- sempat pula membahas urusan agama dan terorisme. Sorotannya lebih pada soal ideologi yang disebutnya sebagai sistem tata nilai yang "cacat sejak lahir" (congenital defect) dengan karakternya yang selalu membenarkan diri sendiri (halaman 60).
Toh, Budi perlu juga membahas dan membantah ideologi jihad seperti yang dianut Imam Samudra. Dalam satu bab, ia mengutip pelbagai sumber untuk menunjukkan adanya pemahaman lain bahwa jihad yang dilakukan Imam Samudra cs tidak sesuai dengan Islam. Memang, apa yang disampaikannya pada bab ini bukan hal baru. Tampaknya ia ingin melengkapi bukunya agar lebih konprehensif.
Yang menarik pada buku ini adalah tiga bab terakhir yang menyoroti terorisme di Indonesia. Satu hal yang dikupasnya ialah kurang antusiasnya dukungan publik terhadap langkah pencegahan dan penanganan terorisme. Upaya penanggulangan, termasuk penerbitan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diopinikan seolah semata-mata karena tekanan internasional.
Ketika perpu itu berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 16/2003, persoalan baru pun muncul lagi. Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan undang-undang itu karena sengketa soal prinsip retroaktifnya. Nasib keputusan MK itu kini tak jelas.
Budi Gunawan menutup bukunya dengan penolakan dia terhadap spekulasi adanya konspirasi di balik pengungkapan kasus bom Bali. Sukses Polri adalah semata-mata karena cermat mengikuti prosedur dan kaidah forensik. Tidak ada urusan dengan Amerika Serikat atau kepentingan global. Ia juga mempertanyakan selera pers yang gencar mengulas pelbagai teori konspirasi yang bukti-buktinya di lapangan ternyata nihil.
Buku Terorisme, Mitos dan Konspirasi ini terkesan kurang dalam, kurang fokus, dan kurang tuntas. Namun ia bisa menjadi referensi berharga di tengah ketiadaan buku yang membahas terorisme domestik.
GATRA, 24 Juli 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar