Gempa 3,6 Kali Per Hari

Rabu, 26 Juli 2006
Putut Trihusodo

Gempa bumi adalah salah satu tragedi paling seram di antara bencana alam lainnya. Daya rusaknya yang massif hampir selalu melahirkan kisah dramatis. Di era informasi kini, peristiwa gempa cepat tersebar ke khalayak lewat siaran radio, tayangan televisi, dan media cetak. Tragedi yang ditimbulkannya pun lalu menghantui publik melampaui magnitude getarannya sendiri.

Dari segi geofisika, gempa itu sendiri merupakan peristiwa alam biasa, tak beda dengan hujan badai, angin musim, dan ombak di laut. Toh, gempa menjadi momok yang lebih menakutkan karena kehadirannya yang selalu tak terduga. Kita tidak tahu persis kapan dan bagaimana ia akan datang. Apa pun, ia bagian dari kehidupan manusia, utamanya di bagian bumi yang sering menjadi lintasan gempa, termasuk di sebagian kepulauan Nusantara.


Maka, gempa bumi menjadi kosakata di banyak tempat. Dalam bahasa Arab klasik ada kata zilzal yang merujuk ke gempa. Orang Cina Selatan menyebutnya ti chan. Di Meksiko dan negara Amerika Tengah lainnya, orang menyebut temblor untuk gempa. Orang Jawa (juga Palembang) menjulukinya lindu. Dalam bahasa Sunda, ia disebut lini. Orang Toba melafalkannya sebagai suhul. Kata ''gempa'' ada di hampir semua bahasa di dunia.

Sebaran gempa bumi sendiri memang sangat luas, meski kejadiannya lebih banyak mengikuti busur ring of fire, mulai pantai selatan Indonesia, ke Filipina, Jepang, Alaska, Amerika Serikat, Meksiko, hingga pesisir barat Amerika Latin.

Dinamika lempeng bumi, patahan, sesar, palung, dan potensi vulkanik yang memicu gempa itu begitu aktif sehingga gempa, besar atau kecil, hampir terjadi tiap hari. Catatan US Geological Survey menunjukkan bahwa lindu ringan (light), yang berkekuatan 4-4,9 pada skala Richter, rata-rata terjadi 13.000 kali per tahun alias 35,6 kali sehari. Yang berkekuatan moderate, 5-5,9 skala Richter, rata-rata 1.319 kali per tahun atau 3,6 kali per hari!

Gempa kuat (strong), 6 hingga 6,9 skala Richter, juga kerap terjadi di dunia ini. Rata-ratanya 134 kali per tahun atau sekali tiap tiga hari. Yang lebih dahsyat, major earthquake, 7-7,9 skala Richter, rata-rata 17 kali per tahun. Sedangkan great earthquake yang ber-magnitude 8 skala Richter ke atas terjadi sekali dalam setahun.

Kenaikan satu pada skala magnitude gempa, menurut US Geological Survey, membawa konsekuensi besar, yakni mengakibatkan ground motion change yang 10 kali lebih kuat karena pelepasan energi (hasil lentingan lapisan bumi) yang 32 kali lebih besar.

Amerika Serikat sendiri adalah satu negara yang sering berurusan dengan gempa. Pada tahun 2000 hingga 20005, di sana terjadi lima kali gempa berkekuatan 7-7,9 skala Richter. Tiga kali di antaranya terjadi di kawasan Alaska. Pada periode yang sama, gempa kuat (6-6,9 skala Richter) terjadi 33 kali.

Dilihat dari sisi statistik, gempa bumi susul-menyusul yang menerpa Indonesia pun mestinya bisa dimaklumi. Seperti halnya Amerika Serikat, Filipina, Meksiko, dan Jepang, bumi Nusantara ini bertumpu di atas lempengan yang tidak stabil. Gempa adalah konsekuensi yang harus dihadapi.

Persoalannya, kita belum mampu keluar dari trauma gempa dan gelombang tsumami Aceh, 26 Desember 2004, dengan korban tewas dan hilang lebih dari 170.000 jiwa, yang disusul dengan gempa yang menimpa Pulau Nias pada Maret 2005, lalu gempa Yogyakarta pada Mei 2006 (lebih dari 5.000 jiwa melayang), gempa pantai selatan Jawa (lebih dari 600 jiwa tewas), kemudian guncangan bumi yang terasa di Gorontalo dan Singaraja.

Statistik dan teori-teori geofisika memang dapat menjelaskan fenomena alam tadi. Namun trauma beruntun bisa membuat orang sulit mencernanya. Jangan heran bila sebagian dari kita mencari ''penjelasan'' lain lewat pendekatan kosmologi, ngelmu, yang tak banyak mendapat perhatian dalam dunia sains. Di bawah "teori" kosmologi, bencana alam lalu dikait-kaitkan dengan masalah politik kekuasaan.

Seperti halnya gempa dan fenomena alam lainnya, kosmologi dan penganutnya juga sebuah fakta yang ada di lapangan. Kita membuang waktu bila harus berpretensi menghapusnya. Akan lebih baik bila wacana dialihkan pada aspek mitigasi bencana alam itu sendiri. Mitigasi yang baik mungkin bisa membantu mempercepat luka atas trauma. Setidaknya, itu akan membawa kita ke alam dan membangun harapan-harapan baru yang masuk akal.

GATRA, 24 Juli 2006


0 komentar:

Posting Komentar