Derita Lebanon

Senin, 17 Juli 2006
Putut Trihusodo

Orang Lebanon tak suka berperang. Mereka lebih berminat ke bisnis, intelektual, seni budaya, dan tak pernah membangun militer yang kuat. Namun mereka harus hidup di kawasan yang panas, utamanya karena bara zionisme.

Jerih payah selama 16 tahun rontok dalam sekejap. Begitu nasib Lebanon kini. Sejak 1990, setelah dilanda konflik bersenjata selama 15 tahun, negeri cantik di tepi Laut Mediterania itu bangkit dari puing-puing keruntuhannya. Gedung perkantoran, jalan raya, hotel-hotel, apartemen, jembatan, bandara, pembangkit listrik, dan infrastruktur lainnya dibangun. Institusi pemerintahan berdenyut kembali.

Pamor Lebanon pun tumbuh hampir pulih. Ibu kota Beirut mulai berbinar. Predikat ''Paris of Middle East'' kembali disandangnya. Badan-badan PBB, semisal ILO dan UNESCO, membuka perwakilannya untuk kawasan Arab di Beirut. Turis asing juga membanjiri Lebanon. Tahun lalu, jumlahnya 1,6 juta.


Pelbagai infrastruktur terus dibangun. Maklum, Beirut menjadi salah satu kandidat tuan rumah Olimpiade musim panas 2024. Yang sudah dekat adalah tuan rumah bagi event ''Jeux de la Francophonie 2009'', sebuah pesta olahraga negara-negara berbahasa Prancis. Di negeri ini, bahasa Prancis adalah yang kedua setelah bahasa Arab.

Jerih payah selama 16 tahun itu telah memberi hasil kongkret. Beirut tumbuh jadi sebuah kota dengan atmosfer kosmopolitan. Sekitar 1,2 juta warga menghuni kota itu, dan angka itu menjadi 1,7 juta bila ditambah penduduk di pinggiran kota. Pusat bisnis, pasar modal, stasiun-stasiun TV, butik, kafe, dan mal-mal bertebaran di Beirut. Ekonomi tumbuh. Pendapatan per kapita warga Lebanon telah mencapai US$ 5.100.

Namun segala kisah sukses itu sepertinya akan rontok saat pesawat-pesawat tempur Israel secara membabi buta menyerang Lebanon, termasuk Beirut, sejak Rabu pekan lalu. Dalihnya, memerangi milisi Hisbullah yang ada di negeri itu. Gara-garanya, dua serdadu Yahudi ditangkap Hisbullah di perbatasan Israel-Lebanon.

Serangan gencar dengan roket, senapan mesin, dan bom itu meluluhlantakkan banyak target di Lebanon. Sebagian sasaran adalah kawasan yang dianggap sebagai kantong-kantong Hisbullah seperti di Dahieh, Beirut Selatan. Toh, militer Israel gatal tangan menghancurkan Bandara Rafic Hariri, pembangkit listrik, jalan raya Beirut-Damaskus, jaringan telekomunikasi, serta jembatan yang dianggap menghubungkan ke kawasan Hisbullah.

Sejak serangan pertama itu, pasar modal di Beikut tutup, setelah sebelumnya anjlok 15%. Industri pariwisata, yang diharapkan mendatangkan pemasukan US$ 2,5 milyar tahun 2006 ini, kolaps seketika. Kerugian fisik sampai pada tiga hari pertama serangan mencapai US$ 500 juta. Siapa yang bertanggung jawab?

Penduduk Lebanon kini 3,8 juta, 200.000 di antaranya migran dari Palestina. Di luar itu, 15 juta orang berdarah Lebanon lainnya hidup tersebar di pelbagai penjuru dunia. Komunitas Lebanon sendiri berdarah campuran dari suku tua Phonix, Syiria, Yunani, Roma, Arab, Kurdi, dan Prancis, yang datang bersama pasukan Salib berabad silam. Sekitar 57% adalah muslim (Suni, Syiah, Druze, dan Alawit). Selebihnya, 40%, Kristen (Katolik Maronit, Ortodoks Yunani, Katolik Armenia, dan Protestan). Di luar itu, ada segelintir Yahudi.

Meski penduduknya heterogen, sejarah mencatat, Lebanon relatif stabil. Transisi dari pemerintah kolonial Prancis ke Lebanon yang merdeka tahun 1945 berjalan tanpa gejolak. Kalaupun ada satu faktor yang membuat negeri itu gonjang-ganjing, tak lain adalah Israel dengan zionismenya. Ulah Israel pula yang membuat 300.000 warga Palestina hijrah ke Lebanon pada 1975.

Kehadiran pengungsi Palestina itu melahirkan konflik domestik yang lantas berkobar menjadi perang sipil sesama orang Lebanon, karena campur tangan tetangga, Suriah dan kemudian Israel. Selama 15 tahun, Lebanon menjadi ajang bagi ledakan bom dan letusan senapan. Tak kurang dari 100.000 orang tewas.

Orang Lebanon tak suka berperang. Mereka lebih berminat ke bisnis, intelektual, seni budaya, dan tak pernah membangun militer yang kuat. Namun mereka harus hidup di kawasan yang panas, utamanya karena bara zionisme. Sejumlah warga Lebanon pun terseret ke dalam konflik regional, seperti para milisi Hisbullah yang bersimpati pada perjuangan Palestina. Pemerintah Lebanon tidak bisa mengontrol mereka. Namun itu tak bisa jadi alasan untuk serangan membabi buta, yang tidak saja membuat kerugian besar, juga mencabik rasa keadilan.

Gatra, 17 Juli 2006


1 komentar:

istamar mengatakan...

Duh semoga perdamain antara israil dan palestina dapat terwujut, dan hidup berdampingan, karena kita di ciptakan oleh ALLAH berbeda dan bersuku-suku untuk saling menghormati

http://mondoretno.blogspot.com
http://desa-sapi.blogspot.com

Posting Komentar